Tugas 3 Mengurai Peristiwa pada Cerpen “Paing”

Tugas 3
Mengurai Peristiwa pada Cerpen “Paing”


P a i n g
Edi Haryono
TIBA di Jakarta pertama kali ia nyangkut di bengkel mebel
dan bekerja sebagai
buruh harian. Majikannya lekas jatuh simpati karena ia rajin dan jujur. Ia diajari
menabung di sebuah bank. Meski kecil, ia setorkan upahnya tiap minggu.
Benarlah kata teman-temannya, ia ulet bagai rotan. Belum dua tahun, ia sudah
memboyong istri dan seorang anaknya dari kampung. Teman-temannya melongo,
mengakui tak mampu seberani itu.Istrinya gembira bukan kepalang, selama ini mengira suaminya sudah
melupakannya, sudah jadi orang kota, dan terbukti omongan para tetangganya
itu salah sama sekali. la belai anaknya dan bisikkan pujian tentang bapaknya.
Sementara menumpang di rumah majikannya ia menjadi tukang cuci dan
seterika. Ia ambil pakaian orang lain untuk menambah penghasilan. Di situ pula
anaknya tumbuh sehat, ketika dibuka pendaftaran sekolah, ia masukkan anaknya
ke sekolah negeri agar kelak nasibnya lebih baik dari dirinya sendiri.
Tahun demi tahun ditempuhnya dengan penuh kesadaran
meningkatkan diri,
tidak baik terus menerus di rumah orang, lebih-lebih setelah istrinya mengaku
sedang hamil lagi. Ia menghadap majikannya, ia memutuskan untuk mandiri.
“Itu niat yang baik, Paing. Meski aku sangat kehilangan, karena kalian sudah
kuanggap famili sendiri. Tetapi jangan khawatir, tempatmu pasti akan diisi orang
lain. Masih banyak orang berderet mengincar pekerjaanmu,” ujar majikannya.
Bersama anak-istri ia mengangkut barangnya ke kamar petak yang bisa disewa
per bulan. Ia mulai melirik untuk menjadi penjual buah-buahan.
Sebelum subuh ia pergi ke pasar, menghadang para tengkulak
menurunkan
dagangannya. la cari akal bagaimana caranya bisa berjualan tanpa harus
mengeluarkan banyak modal. Ia menghadapi orang-orang yang sangar dan sangat
licin. Ya, kelicinan seperti itu ia merasa belum bisa. Syukur, akhirnya ia berhasil
meyakinkan para tengkulak itu dan menggelar buah-buahan titipan. Sedikit bisa
bernafas, seribu
dua ribu bisa ia bawa pulang.
Di kamar itu istrinya juga terus menabung. Tiap hari ia sisihkan belanjanya;
beras segenggam, gula sesendok, minyak
seklenting dan apa saja yang bisa
disimpan di kolong dipannya. Ketika anaknya minta sunat, ia keluarkan semuanya
untuk membuat kue serta berbagai hidangan. Dengan demikian anaknya
bangga dapat layak seperti teman-teman sekelasnya. ***
Namun benar kata orang, cobaan selalu menimpa siapa saja. Di pasar jualannya
kena gusur. Ia termasuk pedagang kaki lima yang kena penertiban. Tubuhnya
lemas, istrinya pun cemas.
“Apa perlu dikeroki?” hibur istrinya.
Ia mengangguk lunglai. “Pedagang-pedagang lain mampu
menyewa kios,
tetapi kita...?”
“Sabar, Kang. Percaya saja pada yang memberi hidup. Jangan gampang putus
asa. Namanya saja hidup mandiri, ya beda dengan hidup mengabdi.”
Ia heran pada istrinya, “Kok sekarang kamu sudah pintar ngomong?”
Lho, sampeyan sendiri tho yang ngajari! Ingat nggak, waktu kita mau pindah ke
sini, sampeyan bilang; hidup jadi buruh mebel sama saja dengan hidup mengabdi
pada majikan.
Sekeras-kerasnya kita kerja, majikanlah yang mulia. Ingat nggak? “Ya. Aku ingat,” jawabnya sambil terus menikmati kerokan.
“Lalu sampeyan juga bilang; lebih baik hidup mandiri, jadi kere atau raja yang
mulai kita sendiri. Susah, sekarang sampeyan tidur, besok bisa cari usaha lain.”
Sejak lahir ia terbiasa bangun pagi, sebelum didahului oleh matahari. Istrinya
telah menyiapkan teh panas manis dan kental. Ia hirup dalam-dalam. Kehangatan
merayapi seluruh tubuh. Gairah hidupnya menyala kembali.
Ia melangkah menyusuri lorong-lorong pasar. Ia amati tingkah laku ibu-ibu
yang sedang belanja. Rupanya hampir semua mengeluh dengan hilangnya becak.
Lalu esoknya lagi ia berjalan melewati rumah juragan bajaj. Tampak banyak bajaj
baru. Sopir-sopir pada jongkok dan bergerombol menunggu.
“Mereka sudah siap
narik sepagi ini?” tanyanya pada diri sendiri. “Pasti mereka butuh sarapan!”
Muncul sebuah gagasan. Lekas ia teliti sekitarnya, ternyata
belum seorang
pun berjualan di situ. Ia girang dan buru-
buru pulang menemui istrinya. Lalu
berdua lari ke sana ke mari menyiapkan segala sesuatunya.
Tengah malam istrinya memasak nasi uduk dan lauk-pauknya.
Juga
menggoreng tahu, tempe, dan pisang. Sebelum matahari nongol ia berangkat dan
siap melayani pembeli. Dugaannya tak secuil pun meleset. Sopir-sopir berebut
mengisi perutnya. Ia bernafas lega.
Angan-angannya untuk memperoleh anak perempuan juga terkabul. Istrinya
melahirkan anaknya yang ketiga dengan
mules di rumah bidan. Untuk sementara
ia serahkan jualan pada orang lain untuk membantu istrinya.
Namun, ketika ia akan mulai jualan lagi terkejut bukan main. Tempatnya
telah dikuasai oleh teman yang semula sangat dipercaya. Bahkan sudah diubah
dengan peralatan yang lebih permanen; tenda, gerobak, dan bangku-bangku.
Ia telah dikhianati. Marah seperti orang gila. Sungguh heran, temannya kalemkalem
saja. Ia ingin berkelahi, tetapi buru-
buru sadar, tidak bisa berkelahi. Ia jadi
pecundang. Pukulan
hebat menghantamnya. Ia roboh kesakitan.
Siapa lagi yang bisa cari nafkah, yang bisa memberi keperluan-
keperluan
bayi? Anaknya? Tidak, dia baru kelas II SMP. Lagi pula jangan anaknya meniru
nasibnya menjadi pedagang kere.
“Biar aku yang jalan, kang. Aku sudah cukup kuat!” ujar istrinya. “Aku akan
ke rumah orang-orang yang dulu mencucikan
pakaiannya. Barangkali mereka
ada yang bisa menolongmu
mencarikan pekerjaan.”
Ia mengangguk lemas. Maka, sambil menggendong bayinya
yang masih merah,
istrinya melangkah ke luar rumah. Tetangga-tetangga yang melihatnya menaruh
iba tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Sambil berjalan pikirannya terus berputar, siapa lagi yang bisa ia datangi. Sudah
dua hari tak ada secuil pun gelagat orang bisa menolongnya. Hanya kepercayaan
pada yang memberi hiduplah yang membuatnya masih mampu bertahan.
Ia yakin pertolongan itu pasti datang. Tiba-tiba ia ingat rumah di pojok jalan itu, rumah
tante pelatih senam. Sudah lama ia tidak pernah ke sana. Ya, sejak tante punya
pembantu baru.
Di muka rumah itu ia berhenti. Sejenak hatinya gundah. Pintunya tertutup.
Mungkin tante sedang tidak di rumah. Ia banyak memiliki teman dan relasi.
“Biarlah kutunggu, sedikit merepotkan tak apa-apa toh ini sangat perlu!” pikirnya.
Lalu hati-hati ia ketuk pintu.
“Mau cari siapa?” sapa pembantu.
“Tante ada?” tanyanya sambil membuka tutup bayi dalam gendongannya
supaya tidak gerah.
“Oh, sedang istirahat, baru saja pulang. Akhir-akhir ini Tante sibuk sekali.”
“Cobalah sampaikan padanya. Saya perlu sekali.” Pembantu ragu-ragu.
Matanya meneliti, melihat pada bayi.
“Ya, tunggu dulu ya!”
Ia duduk di kursi. Pegal-pegal di pahanya ia kendorkan. “Ada apa? Oh, ini
ya bayinya yang baru lahir itu? Aduh, kenapa jadi begini?” ujar tante tergopohgopoh.
la berusaha tetap tabah. Ia angkat wajahnya lalu pelan-pelan
ia utarakan
maksudnya. Dahi tante berkerenyit.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu... Siapa ya yang kemarin dulu... ah, mau Paing
jadi tukang kebun?” ujar tante tiba-tiba.
“Tentu saja mau sekali!” jawabnya cepat. Harapannya mekar kembali.
“Kalau nggak salah temanku yang jadi peragawati. Dia bilang tukang kebunnya
pergi dan butuh tukang kebun baru.
Banyak tanamannya yang mahal-mahal
mati, sayang benar, aku sering ke sana dan... benar Paing mau? Dipikirlah dulu, sebab tempatnya jauh di Jakarta Selatan sana.”
“Nggak apa-apa Tante. Apalagi Kang Paing dulu petani, pasti gampang
mengurus kebun!” jawabnya meyakinkan.
“Soal gaji pasti lumayan. Orangnya kaya sekali. Suaminya ahli minyak dari
Amerika. Sekarang saja aku ngebel dia supaya
tidak didahului orang lain.”
Tante beranjak ke meja telepon. Ia pura-pura tidak mendengarkan
pembicaraan
itu. Tetapi diam-diam telinganya dibuka lebar-lebar. Sudah terbayang kesulitannya
akan berakhir.
Telinganya menangkap pembicaraan soal gaji. Hampir
saja ia
melonjak gembira, “Oh, Sembilan puluh ribu!” Untung cepat ditahannya. Belum
selesai tante meletakkan gagang telepon, seakan-akan ia sudah tahu semuanya.
Bukan
main girang hatinya. Ia tak tahan lagi berlama-lama di situ. Ia ingin cepat
berlari menemui suaminya. ***
SEUMUR hidupnya belum pernah Paing masuk rumah sebesar itu. Seluruhnya
clikelilingi tembok tinggi. Untuk masuk orang harus memencet bel lebih dulu
kemudian menunggu
di luar gerbang. Sebuah kotak lubang terbuka dan muncul
mata menelitinya. Setelah yakin siapa tamunya barulah
gerbang bisa dibuka.
Untung ia datang diantar Tante.
Penjaga gerbang memberi hormat mempersilakan masuk. “Tante sudah
ditunggu nyonya di teras belakang,” ujarnya sopan.
Tante melenggang menuju pintu bangunan utama. Ia terus mengintil di
belakang. Seekor anjing lagi numprah di teras depan.
“Lesi! Lesi!” sapa tante. Anjing berdiri dan Paing undur dua tindak, “Edan,
segede anak sapi!” serunya kaget. Lesi mendekat, mendengus-dengus ke kaki
Tante. Lalu berlari mendorong pintu terbuka. Ia takut setengah mati.
“Jangan takut, Lesi lembut seperti wanita.”
Ia ragu-ragu masuk. Ruangan itu luas seperti lapangan. Tampak mebel-mebel
besar mewah sekali. la ingat, pasti harganya ratusan juta. Banyak pula perabot
antik yang sulit ia bayangkan seperti apa kayanya orang yang punya. Ia melongo
dan jadi bego.
“Tunggu saja di situ!” perintah Tante.
Ia melihat Tante berjalan enak saja. Tumit sepatunya mengetuk lantai bergema
ke seluruh ruangan. Lesi melonjak-
lonjak kesenangan.
Ia merasa lega harus menunggu di balik pintu. Pikirannya terus melayanglayang
ditiup angin sejuk pepohonan di teras itu. Ia terkejut, pundaknya ditepuk
orang. Di belakangnya
sudah berdiri perempuan muda.
“Ngalamun ya? Dipanggil-panggil diam saja. Ayo, ikut aku!” perintahnya.
“Kamu mau kerja di sini? Siapa namamu? Jangan kayak tukang kebun dulu!” “Memangnya kenapa?”
“Huh, nyebelin. Sudah genit orangnya tak tahu diri lagi. Syukur nyonya cepat
memecatnya. Ia diusir dari sini?”
“Diusir?”
“Terang, habis kerja sembarangan, banyak tanaman mati. Banyak yang hilang,
pasti dijual buat beli ganja, suka teler sih!”
Perempuan itu nyerocos terus sama sekali tak memperhatikannya.
Ia sendiri
sedang terheran-heran melewati lorong yang sangat panjang. Akhirnya sampai
di pintu yang memisahkan
bangunan utama dengan kebun yang luar biasanya
luasnya seperti pegunungan. Ada beberapa pohon rambutan serta tanaman tanaman bagus, memang sayang tak terurus. Ada juga lereng menuju kolam
renang di bawahnya. Di sebelah
kolam renang ini barulah tembok tinggi yang
memisahkan
diri dengan kampung di baliknya.
Dari bangunan utama ke kebun ada sebuah teras memanjang.
Di sana tampak
Tante bersama peragawati. Duduk di bantal besar dan dikelilingi bantal-bantal
kecil yang berwarna-
warni. Peragawati mengenakan singlet serta celana pendek
kuning, sehingga kulitnya yang mulus sangat kontras dengan sekitarnya. Ketika
ia diminta mendekat, tampak majalah-majalah berserakan di hadapannya.
Semuanya bergambar
asing.
Perempuan yang tadi mengantarnya sudah menghilang ke bangunan utama.
“Siapa namamu?” sapa peragawati. la cepat menjawab, tetapi suaranya tercekik.
Firasatnya mengatakan sedang menghadapi wanita galak, terbalik sama sekali
dengan bayangan
semula.
Coba mana KTP-mu.” Ia gemetar mengambil KTP dari dompetnya yang baru
disadari ternyata sangat kumal. “Kamu bisa membaca?”
Tiba-tiba tante ikut nimbrung, “Katanya sih lulus SMP. Benar kan Paing?” Ia
mengangguk. “Ya, bisa”.
“Bicaralah yang keras. Di sini semua orang omong keras!” tante tertawa. “Di
rumah segede ini kalau nggak keras pasti nggak kedengaran.”
“Kamu bisa kerja di sini mulai sekarang. Tak usah pulang setiap hari, bisa
habis gajimu buat transpor. Masih ada kamar di samping belakang bisa kamu
pakai. Iyem pembantu tadi akan ngasih tahu semuanya.” Peragawati menggeser
pantatnya.
“Lihat dari sini, semua tanaman dan kebun kamu urusi tiap pagi dan
sore, ditambah tanaman di halaman depan dan sebagian lagi di dalam rumah.” Ia berhenti lagi untuk menimbang
sesuatu.
“Tanyakan pada Iyem apa saja alatnya dan bagaimana cara memakainya.
Untuk merawat tanaman gantung dan bunga di pot kecil, kalau nggak ngerti
jangan diam saja, tanyalah
langsung pada saya. Ingat, semuanya mahal, lebih
mahal dari gajimu setahun. Maka, jangan kerja sembarangan.
Meski kamu bekas
petani, ngurus tanaman ini lain sama sekali. Paham?!”
Ia mengangguk. Dalam hati ia yakin tak akan kesulitan. Sebenarnya sejak kecil
ia paling suka pekerjaan seperti itu. Yang menjadi pikirannya justru soal tinggal
di sini, benar tidur dan makan segalanya terjamin, namun berarti tak ada lagi
kesempatan ngobrol dengan istri dan waktu untuk mengawasi anak-anaknya.
***
DALAM waktu kurang dua minggu saja kebun sudah berubah indah. Tanaman
serta bunga-bunga memancar segar. Rumput di lereng terpangkas rapi. Beberapa
kran dan peralatan yang rusak diperbaiki sendiri. Semua tampak teratur dan
rapi. Pekerjaan pun cepat ia rampungkan sehingga banyak waktu untuk istirahat. Tetapi rupanya hal ini malah menerbitkan kecemburuan pembantu-pembantu
yang tinggal
sama-sama di situ. Mereka hampir tak pernah bisa istirahat,
dari
pagi hingga tengah malam ada saja perintah mengerjakan
tetek-bengek.
Peragawati dan suaminya semakin memberi kepercayaan lebih. Ia mulai
kecipratan pekerjaan lain; membereskan sisa-sisa pesta. Boleh dibilang hampir
tiap malam datang beramai-ramai teman peragawati atau orang-orang kulit putih
ngobrol dan makan minum sampai larut menjelang pagi. Dari bar dalam rumah
sampai gubuk di pinggir kolam berserak gelas, kaleng minuman, dan makanan
yang semuanya
mahal. “Pasti harganya lebih dari gajiku setahun. Alangkah
murahnya barang mewah ini,” pikirnya.
Tetapi ia tetap menjaga kejujurannya. Sekali pun tak berani coba-coba berpesta
sendiri. Sering barang tertinggal begitu saja; korek api emas, kaset, bahkan
perhiasan yang lupa dipakai lagi setelah renang atau sudah terlalu teler, semuanya
itu ia laporkan pada nyonya. Anehnya, kepolosannya
ini sering menjadi bahan
tertawaan pembantu lain dan sopir-sopir, yang menganggapnya goblok tak bisa
memanfaatkan
suasana.
“Paing!” teriak Iyem, “Kamu dipanggil nyonya!”
“Sebentar, tinggal sedikit pekerjaan ini.”
“Nyonya minta cepat.”
Ia menghela nafas, tak puas dengan perintah yang selalu mencampur-adukkan
berbagai pekerjaan. Ia masuk ke dalam.
Peragawati tengah bicara di telepon
dengan suaminya di kantor.
“Ya, right! Okey!” telepon diletakkan.
“Paing, kamu ganti pakaian dulu lalu ke bank ngambil uang. Tuan akan ke Abu Dhabi nanti sore. Sebentar lagi mobilnya dari kantor akan datang mengantarmu.
Ingat, harus
kamu sendiri yang ngambil. Bawa KTP-mu. jangan sekali-kali
menyerahkannya pada sopir. Dia tidak bisa dipercaya. Kaset-kaset dan kacamata
di mobil suka ilang.”
Peragawati minta diambilkan tas berisi buku dan beberapa
rol film. “Sebelum
ke bank kamu ke Kemang dulu memfotokopi
buku dan cuci-cetak film ini. Tinggal
saja di sana. Setelah dapat uang dari bank kembalilah membayar fotokopi
dan foto.
Lalu ke laundry ngambil pakaian tuan sekalian membayar tagihan minggu lalu.
Suruh sopir cepat ke kantor menjemput tuan. Bilang, jangan mampir-mampir.
Kamu sendiri kembali ke sini naik taksi. Paham?!”
Ia tenggelam di dalam mobil kelas satu. Di tangannya segepok uang dari bank,
jumlahnya berlipat-lipat gajinya sendiri. “Alangkah kecil diriku, gajiku cuma sekali
biaya ke laundry pun belum cukup!” hati kecilnya teraduk-aduk. Sementara itu
di sebelahnya sopir dibakar cemburu dan marah. Mulutnya ngocol terus. Dia
akan melawan siapa saja yang mencurigai dan memfitnahnya sebagai pencuri.
Dia siapkan golok di bawah bagasi mobil. Ketika akhir bulan semua dikumpulkan, dari pembantu sampai sopir. Satu
persatu dipanggil untuk menerima gaji. Tiba pada giliran dia segalanya terasa
hambar. Ia yakin isi amplop itu jumlahnya pas seperti didengar istrinya di telepon
rumah tante.
Ia serahkan amplop itu pada istrinya. Anak-anaknya menghambur penuh
kerinduan. Suka-cita membayang di wajah mereka. Ia sendiri hambar.
“Ada apa, kang?” selidik istrinya.
Ia menggertakkan gigi, “Besok...”
“Mau kembali pagi sekali, ya?”
“Aku ingin ke pasar lagi, berkelahi!”
Bela Studio, 18 November 1991
Kompas, 15 Desember 1991
Setelah kalian membaca cerpen itu, kerjakanlah tugas-tugas berikut ini!
1. Bacalah dialog berikut ini.
Setelah cukup lama tinggal dengan majikannya, Paing ingin hidup mandiri.
Paing : Saya merasa kita sudah harus hidup mandiri. Sudah cukup lama kita
tinggal dengan majikan di bengkel mebel.
Istri : Saya juga sudah merasa gak enak, Kang, terlalu lama ikut di rumah
majikanmu. Apa tidak sebaiknya kita hidup mandiri?
Paing : Kamu tidak keberatan jika kita hidup mandiri? Istri : Tidak, Kang. Justru saya senang.
Paing : Baiklah. Nanti saya akan berbicara dengan majikan.
Keesokan harinya.
Istri : Sudah jadi dibicarakan, Kang?
Paing : Sudah.
Istri : Bagaimana tanggapan Beliau?
Paing : Agak keberatan, tapi saya sudah meyakinkan beliau.
Istri : Syukurlah.
Paing : Setelah kita keluar dari rumah majikan, kita harus melirik usaha apa
yang bisa kita lakukan. Istri : Ya, Kang. Itu akan menjadikan kita lebih merdeka.
Paing : Bagaimana jika kita gagal nanti?
Istri : Kita harus tetap berusaha, Mas. Kita percayakan kepada yang memberi
hidup. Jangan mudah putus asa.
Paing :
Istri :
Paing :
Istri :
2. Lengkapi dialog, bagan, dan/atau ringkasan. Kegiatan membangun teks ini
membantu siswa untuk membangun teks secara bersama-sama.




buku pegangan siswa bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XI

4 comments:

  1. Bisa buatin sinopsisnya kak?

    ReplyDelete
  2. Ini th cerpenya ko ga sampe akhir ya?

    ReplyDelete
  3. kak itu ga ksh kunci jawbnnya ch

    ReplyDelete
  4. Maaf y buat adk smua....ntr AK dmarah bp ibu guruny dunk klo ngasih kunci jwbn.....:-) ... mksh udh brkunjung....

    ReplyDelete