Tugas 2
Menelaah Proses Kreatif Menulis Cerpen
“Perihal Orang Miskin yang Bahagia”
Setelah mengetahui karakteristik cerpen, bagaimana kekuatan cerpen pada
rangkaian peristiwa dirangkai dalam jalinan alur yang memperlihatkan kausalitas,
kalian diajak untuk menelaah rangkaian proses kreatif penulisan cerpen “Perihal Orang
Miskin yang Bahagia”.
Bacalah cerpen berikut dengan saksama. Kemudian kerjakanlah tugas berikut
secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3 hingga 5 orang.
Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor
1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu
Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena
setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena dilaminating.
Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya
yang lecek dan
kosong.“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin
itu. Ia sering duduk melamun,
sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan
lapar. “Kelak, mereka
pasti akan menjadi
orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati
teh pahit bersama istrinya.
Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan kisah
paling lucu dalam
hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab
istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang
becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang
malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali
aku memang turun-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat
ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga si mbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya.
“Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu
bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik padaku.
“Kadang bosan juga aku jadi
orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah
juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak
perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi
pelawak. Bertahun-
tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum
menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya
rombeng, dan menyedihkan.
Setiap menghibur
di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya
selalu menangis ketakutan. “Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan
yang menyenangkan buat anakanak,”
ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar,
orang miskin itu suka mengibur
diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah
bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Setiap
kali lapar berkunjung, orang
miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar melupakan
penderitaan.
Atau, seringkali, orang miskin
itu mengajak lapar bermain teka-teki, untuk
menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar
datang
bertandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika
lapar?” Dan orang miskin itu
akan menjawabnya
sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap
menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega
orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis
untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI,
satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih
kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga
menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang.
Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan mereka
secara adil dan beradab
berdasarkan Pancasila
dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran
seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya
recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung
pinggir kali. Bila lagi punya uang
hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan
diri menikmati kopi.
“Orang miskin perlu
juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, begitulah
nikmatnya
jadi orang miskin. Punya banyak
waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sambil
menepuk-nepuk pundakku. “Kalau
kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan,
yang bisa digunakan
untuk membiayaimu
sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan
yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pelan
ia
menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap
kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut
paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru
gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam
cermin, berjalan
mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika
aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihatnya
tengah berusaha menyembunyikan
isak tangisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan.
“Jangan salah
paham,” katanya. “Aku sedih bukan karena
aku miskin. Aku sedih
karena banyak sekali
orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang
bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa kikuk
dengan penampilanku yang
perlente. Sejak
itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa
menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan
terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan
dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui
hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya,
“Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku
malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku
punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita. 14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi
beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai.
Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya
ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan
memar. “Begitulah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Dituduh
mencuri,
dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau
ia pelakunya. Dengan
harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira
orang miskin itu tewas
dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin
baru melahirkan.
[...]
16.
[...]
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang
miskin gadungan
yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah
resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat
teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku
orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan
zaman saja
yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap saja
kaget ketika orang miskin
itu muncul di rumahku
sambil menenteng telepon genggam “Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan
gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari
dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana
bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama
itu bertengger dengan gagah
namanya, tempat
tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin. 19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin.
Ia suka keliling kampung,
menenteng ponsel,
sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak
perlu lagi repot-repot mengemis
dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya.
“Buat apa? Toh sekarang kami sudah nyaman
jadi orang miskin. Tak sembarang
orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung
yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal
terasi dan
nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementara
aku
hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah
benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang
membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang
ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena
banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Begitulah
enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan
orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,”
kata perawat,
lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit.
Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu
Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca. 21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau
tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur
ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke
rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang miskin
itu mengajak anak istrinya
pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sakinah,
batinku. Ia
memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bisik
orang miskin itu pada istrinya,
sambil menunjuk
orang-orang yang sedang antre membayar
dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin
itu pun segera mengeluarkan Kartu Tanda
Miskin miliknya,
“Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah
jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar
ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras
dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau
tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan
dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku
berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak
mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anakanaknya
hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan
di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena
bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya
tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat
yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun
memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
[...]
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah
jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya
yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)
Jakarta-Singapura, 2009
(Jawa Pos, 31 Januari 2010)
(1) Dalam menulis cerpen, ide merupakan masalah yang bersumber dari peristiwa
ataupun benda. Masalah dalam cerpen dipecahkan dengan logika fantasi
dan imajinasi. Cerpen mempunyai ruang yang luas untuk mengembangkan
imajinasi dan fantasi dalam memecahkan persoalan sebagai sumber ide cerpen.
Setelah kalian membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”, cobalah
kalian ceritakan bagaimana kira-kira Agus Noor sebagai pengarang melakukan
pencarian ide terhadap karyanya itu. Kalian bisa memulainya dari masalah yang
diangkat pengarang. Masalah sebagai sumber ide dalam menulis cerpen adalah
ketertarikan pengarang pada fenomena atau benda yang membangkitkan rasa
ingin menulis.
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
(2) Jika ide dan persoalan sudah didapat, selanjutnya adalah memikirkan jawaban
atas persoalan itu. Tahapan ini disebut pengendapan atau pengolahan ide. Jika
sudah mendapatkan ide dan merumuskan masalahnya, hal yang dilakukan
berikutnya adalah memikirkan logika cerita dan jawabannya. Logika jawaban
itu bisa diperoleh dengan pengetahuan dan imajinasi. Selain itu, logika juga
bisa dibangun dengan dasar budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang
akan memperlihatkan kualitas sebuah cerpen. Oleh sebab itu, sebelum menulis
cerpen, pengarang biasanya melakukan riset.
Menurut kalian, bagaimana Agus Noor melakukan tahapan pengolahan
idenya? Diskusikan dengan teman sekelompok kalian, lalu bandingkan hasil
diskusi kalian dengan kelompok lain. _____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
___________________
(3) Jika ide dan permasalahannya sudah terpecahkan melalui pengendapan atau
pengolahan ide yang menghasilkan logika jawaban atau alur peristiwa, tahap
selanjutnya adalah menuliskannya perlahan hingga selesai. Setelah kalian
membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” itu, dapatkah kalian
temukan kelogisan berpikir dalam memecahkan masalah yang dituangkan
Agus Noor dalam cerpennya? Diskusikanlah!
buku bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XI
Menelaah Proses Kreatif Menulis Cerpen
“Perihal Orang Miskin yang Bahagia”
Setelah mengetahui karakteristik cerpen, bagaimana kekuatan cerpen pada
rangkaian peristiwa dirangkai dalam jalinan alur yang memperlihatkan kausalitas,
kalian diajak untuk menelaah rangkaian proses kreatif penulisan cerpen “Perihal Orang
Miskin yang Bahagia”.
Bacalah cerpen berikut dengan saksama. Kemudian kerjakanlah tugas berikut
secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3 hingga 5 orang.
Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor
1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu
Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena
setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena dilaminating.
Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya
yang lecek dan
kosong.“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin
itu. Ia sering duduk melamun,
sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan
lapar. “Kelak, mereka
pasti akan menjadi
orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati
teh pahit bersama istrinya.
Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan kisah
paling lucu dalam
hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab
istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang
becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang
malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali
aku memang turun-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat
ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga si mbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya.
“Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu
bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik padaku.
“Kadang bosan juga aku jadi
orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah
juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak
perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi
pelawak. Bertahun-
tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum
menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya
rombeng, dan menyedihkan.
Setiap menghibur
di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya
selalu menangis ketakutan. “Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan
yang menyenangkan buat anakanak,”
ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar,
orang miskin itu suka mengibur
diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah
bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Setiap
kali lapar berkunjung, orang
miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar melupakan
penderitaan.
Atau, seringkali, orang miskin
itu mengajak lapar bermain teka-teki, untuk
menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar
datang
bertandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika
lapar?” Dan orang miskin itu
akan menjawabnya
sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap
menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega
orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis
untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI,
satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih
kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga
menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang.
Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan mereka
secara adil dan beradab
berdasarkan Pancasila
dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran
seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya
recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung
pinggir kali. Bila lagi punya uang
hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan
diri menikmati kopi.
“Orang miskin perlu
juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, begitulah
nikmatnya
jadi orang miskin. Punya banyak
waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sambil
menepuk-nepuk pundakku. “Kalau
kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan,
yang bisa digunakan
untuk membiayaimu
sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan
yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pelan
ia
menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap
kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut
paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru
gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam
cermin, berjalan
mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika
aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihatnya
tengah berusaha menyembunyikan
isak tangisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan.
“Jangan salah
paham,” katanya. “Aku sedih bukan karena
aku miskin. Aku sedih
karena banyak sekali
orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang
bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa kikuk
dengan penampilanku yang
perlente. Sejak
itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa
menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan
terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan
dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui
hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya,
“Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku
malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku
punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita. 14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi
beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai.
Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya
ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan
memar. “Begitulah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Dituduh
mencuri,
dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau
ia pelakunya. Dengan
harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira
orang miskin itu tewas
dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin
baru melahirkan.
[...]
16.
[...]
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang
miskin gadungan
yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah
resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat
teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku
orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan
zaman saja
yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap saja
kaget ketika orang miskin
itu muncul di rumahku
sambil menenteng telepon genggam “Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan
gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari
dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana
bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama
itu bertengger dengan gagah
namanya, tempat
tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin. 19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin.
Ia suka keliling kampung,
menenteng ponsel,
sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak
perlu lagi repot-repot mengemis
dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya.
“Buat apa? Toh sekarang kami sudah nyaman
jadi orang miskin. Tak sembarang
orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung
yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal
terasi dan
nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementara
aku
hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah
benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang
membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang
ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena
banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Begitulah
enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan
orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,”
kata perawat,
lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit.
Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu
Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca. 21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau
tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur
ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke
rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang miskin
itu mengajak anak istrinya
pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sakinah,
batinku. Ia
memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bisik
orang miskin itu pada istrinya,
sambil menunjuk
orang-orang yang sedang antre membayar
dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin
itu pun segera mengeluarkan Kartu Tanda
Miskin miliknya,
“Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah
jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar
ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras
dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau
tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan
dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku
berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak
mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anakanaknya
hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan
di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena
bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya
tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat
yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun
memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
[...]
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah
jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya
yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)
Jakarta-Singapura, 2009
(Jawa Pos, 31 Januari 2010)
(1) Dalam menulis cerpen, ide merupakan masalah yang bersumber dari peristiwa
ataupun benda. Masalah dalam cerpen dipecahkan dengan logika fantasi
dan imajinasi. Cerpen mempunyai ruang yang luas untuk mengembangkan
imajinasi dan fantasi dalam memecahkan persoalan sebagai sumber ide cerpen.
Setelah kalian membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”, cobalah
kalian ceritakan bagaimana kira-kira Agus Noor sebagai pengarang melakukan
pencarian ide terhadap karyanya itu. Kalian bisa memulainya dari masalah yang
diangkat pengarang. Masalah sebagai sumber ide dalam menulis cerpen adalah
ketertarikan pengarang pada fenomena atau benda yang membangkitkan rasa
ingin menulis.
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
(2) Jika ide dan persoalan sudah didapat, selanjutnya adalah memikirkan jawaban
atas persoalan itu. Tahapan ini disebut pengendapan atau pengolahan ide. Jika
sudah mendapatkan ide dan merumuskan masalahnya, hal yang dilakukan
berikutnya adalah memikirkan logika cerita dan jawabannya. Logika jawaban
itu bisa diperoleh dengan pengetahuan dan imajinasi. Selain itu, logika juga
bisa dibangun dengan dasar budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang
akan memperlihatkan kualitas sebuah cerpen. Oleh sebab itu, sebelum menulis
cerpen, pengarang biasanya melakukan riset.
Menurut kalian, bagaimana Agus Noor melakukan tahapan pengolahan
idenya? Diskusikan dengan teman sekelompok kalian, lalu bandingkan hasil
diskusi kalian dengan kelompok lain. _____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
___________________
(3) Jika ide dan permasalahannya sudah terpecahkan melalui pengendapan atau
pengolahan ide yang menghasilkan logika jawaban atau alur peristiwa, tahap
selanjutnya adalah menuliskannya perlahan hingga selesai. Setelah kalian
membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” itu, dapatkah kalian
temukan kelogisan berpikir dalam memecahkan masalah yang dituangkan
Agus Noor dalam cerpennya? Diskusikanlah!
buku bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XI
Jawabannya sekalian dong
ReplyDeleteMaaf y...ini tugas buat siswa...pmbahasanny d kelas... Trmksh kunjungnny.
ReplyDeleteJawabannya belum?
ReplyDeleteterus jawabannya mana?? sekalian dong
ReplyDelete