Kegiatan 3
Kerja Mandiri Membangun Teks Cerita Pendek
Membangun teks secara mandiri ini merupakan puncak dari seluruh kegiatan
membangun teks cerita pendek dengan segala isinya.
Tugas 1
Menginterpretasi Isi Teks Cerpen “Banun”
Pada tahapan ini kalian bertugas secara mandiri mencari sumber di perpustakaan,
media, internet, observasi di lapangan, dan/atau melalui wawancara narasumber untuk
memperoleh data yang akurat sebagai bahan membangun teks cerita pendek secara
mandiri.
Sebelum kalian membangun teks cerpen secara mandiri, sebaiknya kalian membaca
teks cerpen “Banun” yang ditulis Damhuri berikut ini.
Banun
Cerpen Damhuri Muhammad
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak
akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya
telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya
dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin
mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang
menambahkan kata “kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat
sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang
sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya
subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu.
Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi
laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat
terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turuntemurun
Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang
tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak akibat bendi
yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak
yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa
sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah
sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan
desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari
buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan
tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun
dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana
para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini
belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu
menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-Banun yang lain,
sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah
untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara
menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala,
lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di
bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun
kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin
sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk
tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa
kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan. “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah
suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun
Kikir tiada kunjung reda.
“Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”
gerutu Nami, anak kedua Banun.
“Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani,” bentak Banun.
“Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham
bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya,
termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata “tani” sebagai
penyempitan dari “tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini
berarti: “menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang
dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur,
cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng
sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa
mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat “ditahani” Banun, semakin
kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah
milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan
dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit,
gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia
hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh
dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya,
lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu, akan ditanamnya, agar ia
selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen
padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan,
setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir
separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan
dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang
seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan
biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak
gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual
lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya
selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya
Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala
tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan
ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak
pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur kangkung
pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya
gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi
tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu
kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk
kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi
terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi
pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke
yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok
harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya.
Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir
menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang
diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim
ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak
sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak
bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah
kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah
untuk Rustam.
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan
dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun
dengan sorot mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
“Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu
merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak
pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama.
Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak
mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan
anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat
dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di
kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai
ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan
daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si
Banun Kikir. “Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun
saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah
sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu
kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak
menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang
berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
“Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah
ada,” sesal Rimah suatu hari.
“Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami,
padahal belum, bukan?”
“Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
“Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan
jodohmu!” sela Banun.
“Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada
Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya
dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian.
Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern,
sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani
yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk
mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur
pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu
bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan
tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani. (*)
Tanah Baru, 2010
(Kompas, 24 Oktober 2010)
Interpretasi dan pemaknaan karya sastra tidak diarahkan pada suatu proses yang
hanya menyentuh permukaan karya sastra itu sendiri. Akan tetapi, interpretasi ini
harus mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk
itu, penerjemah harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas
dan mendalam.
Berhasil tidaknya penerjemah untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal
sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman penerjemah itu sendiri. Dalam hal
ini bahasa dipandang sebagai media yang tanpa batas. Namun, satu hal yang perlu diingat
bahwa pemaknaan terhadap sebuah karya sastra akan berbeda bagi setiap pembaca. Teks sastra hampir sebagian besar bersifat simbolik. Teks cerpen salah satunya.
Teks yang bersifat simbolik ini tidak menyajikan makna, melainkan fenomena. Oleh
karena itu, pembaca diharapkan mampu masuk ke dalam fenomena itu. Pada tahapan
tugas ini, kalian diharapkan bisa masuk ke dalam fenomena yang digambarkan Damhuri
pada cerpennya yang berjudul “Banun”.
Untuk dapat menyelami fenomena itu, kalian diminta membaca teks cerpen secara
berhati-hati dan terus menerus. Dengan begitu, kalian akan bisa memproduksi makna teks
cerpen yang disajikan. Setelah kalian memperoleh makna secara umum yang disampaikan
pengarang, tugas kalian berikutnya adalah mereduksi pesan yang didapat. Pada akhirnya,
kalian akan dapat menemukan makna yang diharapkan, meskipun makna harapan itu
belum tentu hal yang hakiki sebab makna itu tidak pernah kekal.
Cobalah untuk menginterpretasi teks cerpen “Banun” itu. Untuk membantu
mempelajari fenomena yang disuguhkan pengarang, kalian bisa membaca berbagai
referensi mengenai persoalan yang diangkatnya.
buku pegangan siswa bahasa Indonesia ekspresi diri dan akademik kelas XI
Kerja Mandiri Membangun Teks Cerita Pendek
Membangun teks secara mandiri ini merupakan puncak dari seluruh kegiatan
membangun teks cerita pendek dengan segala isinya.
Tugas 1
Menginterpretasi Isi Teks Cerpen “Banun”
Pada tahapan ini kalian bertugas secara mandiri mencari sumber di perpustakaan,
media, internet, observasi di lapangan, dan/atau melalui wawancara narasumber untuk
memperoleh data yang akurat sebagai bahan membangun teks cerita pendek secara
mandiri.
Sebelum kalian membangun teks cerpen secara mandiri, sebaiknya kalian membaca
teks cerpen “Banun” yang ditulis Damhuri berikut ini.
Banun
Cerpen Damhuri Muhammad
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak
akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya
telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya
dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin
mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang
menambahkan kata “kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat
sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang
sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya
subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu.
Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi
laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat
terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turuntemurun
Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang
tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak akibat bendi
yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak
yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa
sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah
sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan
desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari
buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan
tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun
dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana
para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini
belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu
menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-Banun yang lain,
sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah
untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara
menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala,
lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di
bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun
kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin
sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk
tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa
kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan. “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah
suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun
Kikir tiada kunjung reda.
“Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”
gerutu Nami, anak kedua Banun.
“Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani,” bentak Banun.
“Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham
bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya,
termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata “tani” sebagai
penyempitan dari “tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini
berarti: “menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang
dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur,
cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng
sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa
mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat “ditahani” Banun, semakin
kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah
milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan
dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit,
gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia
hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh
dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya,
lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu, akan ditanamnya, agar ia
selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen
padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan,
setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir
separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan
dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang
seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan
biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak
gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual
lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya
selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya
Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala
tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan
ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak
pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur kangkung
pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya
gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi
tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu
kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk
kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi
terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi
pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke
yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok
harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya.
Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir
menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang
diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim
ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak
sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak
bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah
kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah
untuk Rustam.
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan
dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun
dengan sorot mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
“Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu
merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak
pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama.
Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak
mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan
anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat
dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di
kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai
ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan
daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si
Banun Kikir. “Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun
saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah
sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu
kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak
menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang
berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
“Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah
ada,” sesal Rimah suatu hari.
“Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami,
padahal belum, bukan?”
“Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
“Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan
jodohmu!” sela Banun.
“Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada
Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya
dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian.
Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern,
sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani
yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk
mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur
pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu
bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan
tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani. (*)
Tanah Baru, 2010
(Kompas, 24 Oktober 2010)
Interpretasi dan pemaknaan karya sastra tidak diarahkan pada suatu proses yang
hanya menyentuh permukaan karya sastra itu sendiri. Akan tetapi, interpretasi ini
harus mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk
itu, penerjemah harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas
dan mendalam.
Berhasil tidaknya penerjemah untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal
sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman penerjemah itu sendiri. Dalam hal
ini bahasa dipandang sebagai media yang tanpa batas. Namun, satu hal yang perlu diingat
bahwa pemaknaan terhadap sebuah karya sastra akan berbeda bagi setiap pembaca. Teks sastra hampir sebagian besar bersifat simbolik. Teks cerpen salah satunya.
Teks yang bersifat simbolik ini tidak menyajikan makna, melainkan fenomena. Oleh
karena itu, pembaca diharapkan mampu masuk ke dalam fenomena itu. Pada tahapan
tugas ini, kalian diharapkan bisa masuk ke dalam fenomena yang digambarkan Damhuri
pada cerpennya yang berjudul “Banun”.
Untuk dapat menyelami fenomena itu, kalian diminta membaca teks cerpen secara
berhati-hati dan terus menerus. Dengan begitu, kalian akan bisa memproduksi makna teks
cerpen yang disajikan. Setelah kalian memperoleh makna secara umum yang disampaikan
pengarang, tugas kalian berikutnya adalah mereduksi pesan yang didapat. Pada akhirnya,
kalian akan dapat menemukan makna yang diharapkan, meskipun makna harapan itu
belum tentu hal yang hakiki sebab makna itu tidak pernah kekal.
Cobalah untuk menginterpretasi teks cerpen “Banun” itu. Untuk membantu
mempelajari fenomena yang disuguhkan pengarang, kalian bisa membaca berbagai
referensi mengenai persoalan yang diangkatnya.
buku pegangan siswa bahasa Indonesia ekspresi diri dan akademik kelas XI
No comments:
Post a Comment