Zaman dahulu, Kota Semarang dipimpin oleh Adipati Pandanarang II dan mempunyai isteri bernama Nyai Pandanarang. Ia terkenal sebagai pemimpin yang jujur, tetapi juga orang yang menyukai harta benda berlimpah.
Sifat kurang baik Adipati ini terdengar oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang sangat arif bijaksana. Sunan berniat mengingatkan Pandanarang II dengan menyamar sebagai tukang rumput. Ketika lewat di halaman Kabupaten, Adipati Pandanarang II menawar rumputnya dengan harga sangat rendah.
Penjual rumput itu setuju dan meletakkan rumputnya di kandang. Sebelum pergi, ia menyelipkan yang lima sen di antara rerumputan. Uang tersebut ditemukan oleh abdi dalem Pandanarang II yang segera melaporkannya kepada tuannya.
Kejadian ini berulang kali terjadi selama satu minggu. Pandanarang II heran mengapa tukang rumput tersebut tidak pernah menanyakan uangnya. Ketika tukang rumput itu kembali datang, Pandanarang pun menanyakan asal usul tukang rumput itu. Ia juga menanyakan mengapa ia seperti tidak membutuhkan uang. Tukang rumput itu menjawab bahwa ia tidak butuh benda-benda duniawi yang melimpah karena semuanya tidak ada yang abadi. Ia juga bilang bahwa ada emas permata tertanam di dalam halaman istana.
Adipati Pandanarang marah mendengar jawaban itu. Ia merasa sedang dihina oleh tukang rumput itu. Namun, ternyata, kata-kata orang itu benar. Ada emas permata di dalam tanah istana. Akhirnya, Sang Adipati mengetahui bahwa orang itu adalah Sunan Kalijaga. Adipati itu memohon maaf dan memohon untuk jadi murid Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menyetujuinya, asalkan Pandanarang melepaskan kegemarannya pada harta duniawi.
Isteri Sang Adipati pun ingin ikut suaminya. Namun, ia tak rela meninggalkan harta bendanya dan menyerahkannya kepada fakir miskin. Ia menyuruh suaminya berangkat lebih dulu. Lalu, perempuan ini menyimpan emas dan permata di dalam tongkatnya yang terbuat dari bambu.
Pandanarang bisa menyusul Sunan Kalijaga. Mereka pun menempuh perjalanan bersama. Di perjalanan, mereka dihadang oleh tiga para penyamun.
“Kalau kau ingin barang berharga, tunggulah. Sebentar lagi, akan lewat seorang wanita tua. Cegatlah. Kau akan mendapatkan emas permata di dalam tongkat bambunya,” kata Sunan Kalijaga.
Lalu, muncullah Nyai Pandanarang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat bambu. Ketiga penyamun menghadang perempuan itu dan merampas tongkat bambu yang ia pegang.
Nyai Pandanarang tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan hartanya dirampas. Ketika berhasil bertemu dengan suaminya dan Sunan Kalijaga, ia menceritakan kejadian perampokan yang dialaminya sambil menangis.
“Kau tidak mendengarkan kata suamimu. Untuk berguru denganku, kalian harus meninggalkan harta duniawi. Jadi, kejadian ini salahmu sendiri,” ujar Sunan Kalijaga.
Untuk mengingat kejadian tersebut, Sunan Kalijaga menamakan daerah itu dengan “Salah Tiga”.
“Ada tiga yang melakukan kesalahan di sini, yaitu kau sendiri, suamimu, dan para penyamun itu. Kelak, tempat ini akan menjadi kota yang ramai,” kata Sunan Kalijaga.
Pada perkembangan selanjutnya, nama Salah Tiga bergeser ucapannya menjadi Salatiga. Kini, Salatiga menjadi kota yang ramai seperti yang pernah diperkirakan oleh Sunan Kalijaga. ***
Sumber:
Marina Asril Reza, 2011, 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara (Cerita Kepahlawanan, Mitos, Legenda, Dongeng, & Fabel dari 33 Provinsi), Jakarta: Visimedia
dikutip dr: http://kekunaan.blogspot.com/2012/06/asal-mula-kota-salatiga.html
No comments:
Post a Comment