BAB 6. MEMILIH KATA, BENTUK KATA, DAN UNGKAPAN YANG TEPAT


A. Pilihan Kata dan Bentukan Kata dalam Konteks 
atau Topik  Pembicaraan
Sering terjadi seseorang sulit menguraikan suatu peristiwa dalam 
pembicaraan atau tak dapat menyampaikan gagasan melalui kata-kata 
serta kalimat yang tepat sehingga terjadi penjelasan yang berbelit-belit, 
panjang lebar, dan kurang terarah. Hal ini menyebabkan pendengar sulit 
memahami maksud yang disampaikan oleh pembicara dan dapat terjadi 
salah pengertian.
Untuk menyampaikan maksud pembicaraan, seseorang akan berupaya 
menggunakan berbagai kata atau ungkapan yang dapat mewakili makna atau  
konsep  yang ingin diutarakan.  Setidaknya ia memahami dan menguasai 
berbagai istilah kata yang berkaitan dengan topik yang akan disampaikan. 
Namun, seseorang belum tentu dapat dengan baik mengutarakan atau 
menjelaskan apa yang sudah dipahami tersebut lewat kata-kata atau kalimat 
yang tepat dan efektif. Ketidakefektifan seseorang dalam menyampaikan 
sesuatu dapat disebabkan kurang menguasai kosakata, bentukan kata, 
atau ungkapan kata yang sesuai dengan topik, gagasan atau maksud yang 
ingin diungkapkan. Keluhan seperti  saya agak susah mengatakannya atau 
ngomongnya gimana, ya? akan ternyatakan bila seseorang tidak menguasai 
kosakata bidang atau persoalan yang ingin diungkapkan. Kondisi ini dapat 
terjadi baik dalam penggunaan bahasa tulis maupun bahasa lisan (berbicara), 
misalnya seseorang tak dapat menjelaskan dengan baik persoalan tentang 
transportasi udara jika ia tak menguasai istilah, kata-kata atau ungkapan 
yang berhubungan dengan masalah itu. 
Saat membicarakan telepon seluler atau nirkabel, istilah pulsa, voucher,  
berbagai  merek HP, isi ulang, kartu perdana dan sebagainya kerap diucapkan. Ketika berbicara tentang rumah sakit, istilah paviliun, kamar, rontgen, 
infus, fasilitas perawatan, nama penyakit, nama obat, dan sebagainya akan 
sering terdengar. Atau, orang tidak dapat terlibat pembicaraan orang lain 
tentang sesuatu yang ia tidak paham betul topik yang sedang dibahas serta 
tak menguasai kata-kata atau istilah yang berhubungan dengan hal yang 
dibicarakan.
Di bawah ini, contoh lain beberapa kata atau istilah serta ungkapan 
yang saling berkaitan dalam satu topik atau pokok pembicaraan.
1. Kereta api : lokomotif, stasiun, kereta ekspres, kelas ekonomi, 
gerbong, abudemen,  rel, langsam, dan sebagainya.

2. Sepak bola : kesebelasan, liga, galatama, copa Amerika, FIFA, striker, 
pinalti, kiper, hatrik, dan sebagainya.
3. Film : jam tayang, durasi, aktor, aktris, judul, sinetron, layar 
lebar, piala citra, top rating, dan sebagainya.
4. Musik : group band, konser, musisi, lagu, fans, vokalis, lagu 
favorit, request, platinum, dan sebagainya.
5. Internet : chating, e-mail, website, browser, situs, home page, neter, dan 
sebagainya.
Pemilihan bentukan kata juga menentukan proses penyampaian 
maksud. Banyak kata atau bentukan kata yang secara umum memiliki 
kesamaan arti, tapi sesungguhnya mengandung pengertian khusus yang 
berbeda. Pilihan dan penggunaan bentukan kata yang tepat menjadikan 
kalimat lebih cermat dan terarah sehingga terhindar dari salah pengertian, 
misalnya kata  membawa memiliki kata–kata sepadan yang secara khusus 
maknanya berbeda, yaitu memanggul, menggendong, dan menjinjing. Masing–
masing kata ini mempunyai makna dan ciri khusus yang membedakan satu 
sama lain. Meskipun sama–sama  membawa, pengertian  memanggul ialah 
membawa dengan meletakkan barang bawaan di bahu, menggendong 
ialah membawa dengan kedua tangan sejajar dengan dada, menjinjing ialah 
membawa dengan tangan menggenggam barang bawaan seperti tas.
Contoh dalam kalimat : 
-  Ia terpaksa memanggul karung beras itu sampai ke rumah.
-  Guru BP menggendong siswa yang pingsan itu ke ruang UKS.
-  Ibu itu menjinjing belanjaannya yang berisi sayuran.  
Seseorang dapat memanfaatkan kata bersinonim tersebut untuk lebih 
menekankan makna kata kepada pengertian yang lebih khusus agar topik 
pembicaraan lebih terarah.

B. Memanfaatkan Kata Bersinonim untuk Menghindari 
Kata yang Sama dalam Kalimat/Paragraf
Penguasaan kosakata yang tidak banyak, dapat menyulitkan seseorang 
untuk merangkai kalimat untuk menjelaskan sesuatu baik dalam bentuk 
tulisan maupun lisan. Kalimat yang dibuat dapat berisi banyak kata yang 
sama dan diulang-ulang.  Kalimat menjadi tidak cermat atau kurang efektif 
atau berkesan mubazir.
Mengurangi penggunaan kata yang berlebihan dan berulang-ulang 
dalam kalimat dapat diatasi dengan  pemakaian kata yang bersinonim. 
Dengan penggunaan kata yang sepadan, kalimat menjadi tidak kaku serta 
lebih variatif.
Contoh:
1a. Jumlah wisatawan kembali meningkat di Bali pasca tertangkapnya 
para tersangka peledak, bom Bali yang menghebohkan dunia itu. Para 
wisatawan merasa tak akan ada lagi aksi terorisme di Pulau Bali tersebut. 
Sebelumnya kunjungan wisatawan di Bali merosot drastis.
1b. Jumlah wisatawan kembali meningkat di Bali pasca tertangkapnya 
para tersangka peledak, bom Bali yang menghebohkan dunia itu. Para 
turis asing merasa tak akan ada lagi aksi terorisme di Pulau Dewata
tersebut. Sebelumnya kunjungan wisman di Bali merosot drastis.
2a. Polisi tidak mentoleransi adanya aksi unjuk rasa saat pemilihan umum 
daerah berlangsung, yang pasti akan mengganggu jalan pemilihan 
umum daerah tersebut. Setiap aksi unjuk rasa akan ditindak tegas  oleh 
polisi, siapa pun dan dari mana pun unjuk rasa itu berasal. 
2b. Aparat keamanan tidak mentolerasi adanya demonstrasi saat pemilihan 
umum daerah berlangsung yang pasti akan mengganggu jalannya 
pesta demokrasi tersebut. Setiap aksi demontrasi akan ditindak tegas 
oleh polisi, siapapun dan dari manapun aksi massa itu berasal.

C. Makna Leksikal, Kontekstual, Struktural, dan 
Makna Metaforis
Pilihan kata juga berkaitan dengan pertimbangan menggunakan kata 
yang memiliki makna-makna tertentu. Sebuah kata tidak serta-merta hanya 
memiliki satu makna atau pengertian. Tapi, sebuah kata dapat dimaknai 
secara leksikal, kontekstual, ataupun struktural. Yang dimaksud dengan 
makna leksikal ialah makna yang sesuai dengan konsep yang digambarkan 
pada kata tersebut. Makna leksikal disebut juga makna yang sesuai dengan 
referensial kata tersebut. Contoh kata  kerbau adalah binatang mamalia 
bertanduk yang makanannya rumput atau sejenis sapi, sedangkan makna 
kontekstual ialah makna yang muncul sesuai dengan konteks kata tersebut 
dipergunakan. Artinya, makna tersebut muncul sebagai makna tambahan 
di samping makna sebenarnya berupa kesan-kesan yang ditimbulkan oleh 
sebab situasi tertentu, misalnya ungkapan dasar kerbau, kerjaannya makan tidur 
saja tentu yang dimaksud kerbau bukan binatang bertanduk tapi menunjuk 
pada manusia. Contoh lain ialah kata kursi, secara leksikal maknanya adalah 
tempat untuk duduk. Kursi pada kalimat banyak kursi yang nilainya puluhan 
juta saat pemilu, bermakna jabatan yang diperjualbelikan.
Selain makna leksikal dan kontekstual, ada makna struktural atau 
gramatikal.  Makna struktural adalah makna yang muncul akibat kata 
mengalami proses afiksasi atau penambahan imbuhan serta proses 
reduplikasi dan proses komposisi. Kata  terdengar, misalnya pada kalimat 
suaranya terdengar sampai ke belakang  berarti dapat  didengar tapi kata terdengar yang memiliki kata dasar sama yaitu dengar, pada kalimat rencana 
jahatnya terdengar oleh tetangganya berarti  tidak sengaja. Demikian pula pada 
kata buku dengan buku-buku yang mengalami reduplikasi menimbulkan 
makna jamak yang artinya banyak buku makna yang berbeda juga dapat 
ditimbulkan oleh akibat komposisi kata. Misalnya, kata sate ayam tidak sama 
maknanya dengan sate madura yang pertama menunjukkan bahan dan yang 
kedua menunjukkan tempat.
Makna metaforis adalah makna yang ditimbulkan oleh adanya unsur 
perbandingan di antara dua hal yang memiliki ciri makna yang sama. 
Contoh kata kaki dengan ungkapan kaki langit, kaki gunung, dan kaki meja. 
Kaki tetap menunjukkan bagian bawah, namun ungkapan kaki langit 
bermakna horizon, kaki gunung berarti lembah, dan kaki meja adalah tiangtiang penyanggah meja. Benda yang ditunjukkan berbeda tetapi memiliki 
kemiripan keberadaan, yaitu di bagian bawah. Demikian pula dengan kata 
kepala yang membentuk perbandingan kepala kereta, kepala pemerintahan, dankepala sekolah. Kata jatuh yang membentuk kata-kata jatuh cinta, jatuh miskin, 
jatuh bangun, jatuh hati, dan sebagainya. Gaya bahasa ini kemudian disebut 
dengan polisemi.
Makna metaforis juga dapat berbentuk ungkapan jika dilihat dari segi 
ekspresi kebahasaannya, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan 
pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa 
tertentu yang dianggap tepat, seperti ungkapan panggung dunia, bunga 
desa, bintang kelas, jendela informasi, dan bahtera rumah tangga. 
Beberapa kata di dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai secara 
leksikal, kontekstual, struktural, atau metaforis bergantung pada kebutuhan 
penggunaannya. Hanya saja kita harus dapat membedakan makna-makna 
kata tersebut sehingga dapat menggunakannya secara tepat. Perhatikan 
tabel berikut.
emosinya dalam bentuk-bentuk  satuan bahasa tertentu yang dianggap tepat, seperti 
ungkapan panggung dunia, bunga  desa, bintang kelas, jendela informasi, dan bahtera rumah 
tangga.
Beberapa kata di dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai secara leksikal, kontekstual, 
struktural, atau metaforis tergantung pada kebutuhan penggunaannya. Hanya saja kita harus 
dapat membedakan makna-makna kata tersebut sehingga dapat menggunakannya secara tepat. 
Perhatikan tabel berikut: 
No Kata 
Makna Kata 
leksikal kontekstual struktural metaforis 
1. kursi bangku, tempat 
duduk
berebut kursi: 
jabatan 
berkursi:
menggunakan kursi 
kursi malas 
2. nomor angka, bilangan punya nomor: 
pegawai negeri 
menomori: 
memberikan nomor 
nomor jitu 
3. angin udara, hawa  bagai angin: tak 
tentu arah 
angin-anginan: 
tidak tetap 
angin duduk 
4. gelap suram, kelam Kulit gelap: 
kulit hitam 
menggelapkan: 
membuat jadi gelap 
pasar gelap, 
gelap mata 
5. jatuh tersungkur jatuh: gugur, 
gagal
berjatuhan: jatuh 
satu-satu
jatuh bangun 
D. Majas dan Pribahasa 
1. Majas 
Gejala memperbandingkan pun terjadi pada bentuk-bentuk majas seperti majas perbandingan. 
Yang termasuk majas perbandingan ialah: maja 
D. Majas dan Peribahasa
1. Majas
Gejala memperbandingkan pun terjadi pada bentuk-bentuk majas 
seperti majas perbandingan. Yang termasuk majas perbandingan ialah: 
majas perumpamaan, majas metafora, majas personifikasi, majas alegori, 
dan majas antitesis.
1) Majas perumpamaan, ialah majas perbandingan dua hal yang pada 
hakekatnya berlainan dan sengaja dianggap sama. Perbandingan ini 
ditandai oleh pemakaian kata seperti: bagaikan, ibarat, umpama, laksana, 
dan seperti.

Contoh:
a. Larinya cepat laksana kilat.
b. Mukanya pucat bagaikan mayat.
c. Suaranya menggelagar seperti halilintar.
2) Majas metafora, ialah majas perbandingan yang paling singkat , 
padat, tersusun rapi. Di dalamnya, terlibat dua ide: yang satu adalah 
suatu kenyataan dan satunya lagi merupakan perbandingan terhadap 
kenyataan tadi.
Contoh;
a. Nani jinak-jinak merpati.
b. Dia anak emas pamanku.
c. Bapak tulang punggung keluarga kita.
3) Majas personifikasi, adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat 
insani kepada barang yang tidak bernyawa atau benda abstrak.
Contoh:
a. Angin meraung-raung.
b. Nyiur melambai-lambai.
c. Ombak menerjang karang.
4) Majas alegori, ialah  cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. 
Alegori biasanya berisi tentang moral dan hal-hal yang berkaitan 
dengan spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisi maupun 
prosa. Bentuk alegori singkat misalnya, fabel dan farabel. Fabel adalah 
sejenis alegori yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh binatang yang 
dapat berbicara dan bertingkah laku seperti manusia.

Contoh: 
a. Kancil dan buaya
b. Kancil dan kura-kura
c. Tom dan Jerry
Farabel adalah cerita singkat yang mengemukakan masalah moralmisalnya cerita para nabi atau cerita orang-orang saleh. Sekarang 
banyak muncul pula cerita yang penuh hikmah dari buah kebaikan 
atau akibat perbuatan buruk seperti dalam kisah Rahasia Ilahi, dan 
Pintu Hidayah.
5) Majas antitesis, ialah sejenis majas yang mengadakan komparasi  atau 
perbandingan antara dua antonim (majas ini bersifat perlawanan).
Contoh:
a. Dia bergembira ria atas kegagalan dalam ujian itu.
b. Setelah ditodong, ia malah menolong penjahat itu.
c. Orang tua itu bergembira atas pernikahan putrinya, sekaligus 
merasa was-was dengan masa depannya.
2. Peribahasa
Gaya bahasa perbandingan juga dapat berbentuk peribahasa. Peribahasa 
adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan 
biasanya mengiaskan sesuatu maksud tertentu. Zaman dahulu peribahasa 
merupakan sarana untuk mengungkapkan penilaian, nasihat, gurauan, 
atau sindiran. Di dalam peribahasa, terdapat simbol atau lambang-lambang 
yang dianggap mewakili maksud yang ingin diungkapkan.
Contoh peribahasa:
1. Datang tampak muka, pergi tampak punggung.
Artinya: Datang dengan baik, pergi pun harus dengan baik pula.
2. Sepala-pala mandi biar basah.
Artinya: Mengerjakan sesuatu perbuatan hendaklah sempurna, 
jangan separuh-paruhnya.
3. Arang habis, besi tak kimpal.
Artinya: Kerugian sudah banyak, maksud tak sampai.
4. Besar pasak daripada tiang.
Artinya: Besar pengeluaran daripada penghasilan.
5. Bagai mencencang air.
Artinya: Mengerjakan pekerjaan yang sia-sia.
6. Bagai telur di ujung tanduk.
Artinya: Keadaan yang sudang gawat atau genting.

7. Bagai anak ayam kehilangan induk.
Artinya: Seseorang yang tidak punya pegangan, hidupnya tak 
tentu arah.
E. Pilihan Kata dalam Laras Bahasa
Pada pelajaran terdahulu, sudah dijelaskan tentang laras bahasa. Laras 
bahasa adalah ciri khas suatu penggunaan bahasa pada kelompok atau 
lingkungan pemakai bahasa tertentu. Kekhususan tersebut meliputi pilihan 
kata, ungkapan, istilah, ragam bahasa, dan gaya penuturan. Misalnya, 
laras bahasa hukum akan banyak menggunakan istilah atau kosakata 
yang berkaitan dengan hukum, aturan, dan perundang-undangan. Karena 
bersifat penjelasan mengenai peraturan, biasanya kalimat dalam bahasa 
hukum panjang-panjang atau berbentuk kalimat luas.
Lain lagi dengan bahasa sastra, lebih banyak menggunakan kata 
bermakna konotasi atau simbolik. Kalimatnya pun panjang namun banyak 
perumpamaan atau bersifat metaforis. Bahasa pers lebih cenderung 
menghemat kata atau sering menghilangkan bentuk imbuhan dalam 
bentukan kata. Kalimatnya pun bersifat lugas dan apa adanya.
Contoh bahasa hukum:
“Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64, dilakukan oleh korporasi, maka 
di samping pidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan 
pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk 
tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana penambahan berupa 
pencabutan izin usaha.”
Contoh bahasa pers:
a. “ PT. Natural belum beri Keputusan.”
b. “ Pasokan  Melimpah, Permintaan Beras Turun.”
c. “ Petani Tak Mampu Penuhi Persyaratan Bank.”









No comments:

Post a Comment