Tugas 4 Mengulas Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Pada Tugas 4 ini kamu diminta untuk mengulas cerpen “Nasihat untuk Anakku”
karya Motinggo Busye secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3—5 siswa.
Pada kegiatan ini kamu diharapkan menghasilkan teks ulasan cerpen “Nasihat untuk
Anakku” sesuai dengan struktur teks yang sudah kamu kuasai. Struktur teks ulasan
terdiri atas orientasi, tafsiran, evaluasi, dan rangkuman.
Di samping menghasilkan struktur teks ulasan, kamu juga diminta menganalisis
unsur instrinsik dan ekstrinsik cerpen. Unsur instrinsik, antara lain, tema, alur, plot,
karakter, latar, sudut pandang, sedangkan unsur ekstrinsik, antara lain, unsur sosial,
budaya, politik, psikologi, dan sebagainya. Cerpen yang akan kamu ulas berjudul
“Nasihat untuk Anakku” karya Motinggo Busye.
Nasihat untuk Anakku
Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia
sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah
seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh
orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari
neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau
membaca nasihatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus
sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu dulu pernah menanti bus
sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi
harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk
makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau
bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua
yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu
seperti ikan pepesan layaknya. Bus ketiga datang, yang terlambat setengah jam
dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk.
Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto
pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Karena
ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil
pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu sebab
pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala
kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya, tetapi menimpa kepala
orang lain.
Tentu pada masa engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah
tak sempit lagi, bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira
sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu
naik becak atau bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang
emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini,
adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat
merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat
baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor
majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini cuma
berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang
teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan
minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah,”
kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia
pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher
dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu
engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah
dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum
berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena
dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang
menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di
satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena
dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka
di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma angan-angan saja. Tetapi waktu
itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut
kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan
duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia
sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati;
karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia.
“Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman
Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya
seperdua ratus detik saja beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada
arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis.
Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan
itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang
dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan
rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun
kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku
harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau
tiap-tiap orang bisa mengatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah
ikut menyumbang perekonomian negaranya, biar pun sumbangan itu cuma
sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli
sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan sembilan puluh juta
buku harian dan sembilan puluh juta pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan
itu, biar pun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku
sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
“Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,”
jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni
ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti
orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya
bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah
menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya
dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya
yang berbunyi: “Aku sudah malu pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan
hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan
mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu
meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
Sebenarnya nasihat ini, anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak
bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku.
Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu
itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat,
janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu
hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri,
anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung
yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga
hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan
bisa kerja apa saja, anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang
pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita
pendek di mana tertulis nama Ayahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat
yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa
alasan yang bisa kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha
mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan,
dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak
benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu
kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua
macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa
bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan
kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku
ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab
buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa
membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah isinya?”
“Macam-macam, di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak
bisa digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran
buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November, tepat pada hari
ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu
ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya
usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan
saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan
hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu
adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan
banyak manusia.
Sumber: Motinggo Busye dalam Jakob Sumardjo & Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
a) Struktur Teks Ulasan Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Supaya kamu dapat mengulas cerpen “Nasihat untuk Anakku” karya Motinggo
Busye dengan baik, kamu baca cerpen itu dengan cermat. Kemudian kamu ulas
berdasarkan struktur teks ulasan yang terdiri atas orientasi, tafsiran, evaluasi, dan
rangkuman. Di dalam mengulas cerpen, hal penting yang harus kamu perhatikan
adalah gambaran umum, ringkasan, serta kelebihan dan kekurangan dari cerpen
tersebut.
b) Tema Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Perlu kamu ketahui bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam
menulis cerita bukan sekadar ingin bercerita, tetapi ingin mengatakan sesuatu
pada pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakannya itu bisa masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini.
Semua kejadian dan perbuatan tokoh cerita, didasari oleh ide pengarang tersebut.
Sebuah cerpen harus selalu mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang
hidup ini sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik.
Bagaimana pesan pengarang tersebut dikemukakan dalam cerpen? Pesan itu
tentu saja tidak dikemukakan secara definitif. Pengarang menyatakan ide atau tema
dalam unsur cerita. Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh
elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh, jalan pikiran, perasaan,
kejadian-kejadian, latar cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya.
Seluruh unsur cerita mempunyai satu arti saja dan satu tujuan. Yang mempersatukan
segalanya itu adalah tema.
Pada tugas ini kamu (secara berkelompok) harus bisa menentukan tema cerpen
“Nasihat untuk Anakku’’. Tema yang sudah ditemukan oleh tiap-tiap kelompok didiskusikan di depan kelas. Untuk memandu kamu di dalam menentukan tema,
kamu jawab pertanyaan berikut.
1) Bagaimana sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan di dalam cerpen
“Nasihat untuk Anak’’?
2) Apakah nasihat yang dikemukakan oleh tokoh Ayah dalam cerpen ini juga berguna
bagi orang lain?
3) Apa alasan tokoh utama melarang anaknya menjadi pengarang?
4) Bagaimana pendapatmu tentang profesi pengarang?
Dengan demikian, apa tema cerpen tersebut? Tentukan tema tersebut dan sebutkan
alasannya.
c) Plot Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Plot sering juga disebut alur cerita. Contoh populer untuk menerangkan arti plot
ialah begini: Raja mati disebut jalan cerita, sedangkan raja mati karena sakit hati
adalah plot. Apa yang disebut plot dalam cerita memang sulit dicari. Ia tersembunyi
di balik jalannya cerita.
Jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah perwujudan, bentuk wadah,
bentuk jasmaniah dari plot. Perlu kamu ketahui bahwa plot tidak sama dengan
jalannya cerita. Contoh di atas jelas menunjukkan apa yang dimaksud dengan plot.
Raja mati hanyalah bernilai berita, tidak mengandung plot, sedangkan raja mati
karena sakit hati adalah plot karena tiba-tiba menjadi hiduplah imajinasi kita. Plot
dengan jalannya cerita memang tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Secara
umum plot sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
1) Pengenalan
2) Timbulnya konflik
3) Konflik memuncak
4) Klimaks
5) Pemecahan
Setelah mengenal elemen-elemen plot, kamu analisis cerpen “Nasihat untuk
Anakku” berdasarkan elemen-elemen plot tersebut. Hasil analisis ini juga kamu diskusikan secara berkelompok.
d) Karakter
Perlu kamu ketahui bahwa mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian
si penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, seluruh
cerita menjadi lemah. Ada beberapa jalan yang dapat menuntun kita sampai pada
sebuah karakter, yaitu (1) melalui apa yang dilakukan si tokoh, (2) melalui ucapanucapan
si tokoh, (3) melalui penggambaran fisik tokoh, (4) melalui pikiran-pikiran
sang tokoh, dan (5) melalui penerangan langsung (penulis membentangkan panjang
lebar watak tokoh secara langsung.
Pada bagian ini kamu diharapkan dapat menganalisis karakter tokoh di dalam
cerpen “Nasihat untuk Anakku”. Hasil analisis karakter tokoh ini kamu diskusikan
secara berkelompok.
e) Latar
Dalam cerpen modern latar telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang
penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Hanya tahu di mana suatu
cerita terjadi tidak cukup. Latar dalam cerpen modern telah menjadi jalinan dengan
unsur-unsur cerpen lainnya. Latar bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu
tertentu, melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, gaya hidup mereka, dan sebagainya.
Pada bagian ini kamu diharapkan dapat menganalisis latar di dalam cerpen “Nasihat
untuk Anakku”. Hasil analisis latar ini kamu diskusikan secara berkelompok. Pertanyaan
mendasar yang harus kamu jawab tentang latar adalah sebagai berikut.
1) Dapatkah latar dalam cerpen “Nasihat untuk Anakku” diganti dengan tempat
yang lain tanpa mengubah karakter dan isi cerpen?
2) Apakah latar akan tetap efektif pada keseluruhan cerpen kalau diabaikan atau
dihilangkan?
f) Sudut Pandang
Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang
diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Pada dasarnya ada empat
sudut pandang (point of view), yaitu (1) sudut pandang serba tahu (omniscient point
of view), (2) sudut pandang objektif (objective point of view), (3) sudut pandang orang
pertama, dan (4) sudut pandang orang kedua.
Selanjutnya, kamu diminta untuk menganalisis cerpen “Nasihat untuk Anakku”
berdasarkan sudut pandang.
g) Unsur Ekstrinsik Cerpen
Unsur ekstrinsik cerpen adalah unsur pembentuk cerpen yang berada di luar
cerpen. Unsur ekstrinsik cerpen tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat pada saat
cerpen tersebut dibuat. Unsur ekstrinsik ini mempengaruhi penyajian, gaya, dan isi
cerpen. Unsur ekstrinsik meliputi latar pengarang, politik, psikologi, sosial-budaya, dan agama.
Selanjutnya, secara berkelompok kamu diminta menganalisis unsur ekstrinsik
cerpen “Nasihat untuk Anakku”. Hasil analisis itu kamu diskusikan juga dengan
kelompok lain.
Pada Tugas 4 ini kamu diminta untuk mengulas cerpen “Nasihat untuk Anakku”
karya Motinggo Busye secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3—5 siswa.
Pada kegiatan ini kamu diharapkan menghasilkan teks ulasan cerpen “Nasihat untuk
Anakku” sesuai dengan struktur teks yang sudah kamu kuasai. Struktur teks ulasan
terdiri atas orientasi, tafsiran, evaluasi, dan rangkuman.
Di samping menghasilkan struktur teks ulasan, kamu juga diminta menganalisis
unsur instrinsik dan ekstrinsik cerpen. Unsur instrinsik, antara lain, tema, alur, plot,
karakter, latar, sudut pandang, sedangkan unsur ekstrinsik, antara lain, unsur sosial,
budaya, politik, psikologi, dan sebagainya. Cerpen yang akan kamu ulas berjudul
“Nasihat untuk Anakku” karya Motinggo Busye.
Nasihat untuk Anakku
Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia
sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah
seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh
orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari
neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau
membaca nasihatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus
sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu dulu pernah menanti bus
sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi
harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk
makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau
bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua
yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu
seperti ikan pepesan layaknya. Bus ketiga datang, yang terlambat setengah jam
dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk.
Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto
pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Karena
ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil
pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu sebab
pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala
kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya, tetapi menimpa kepala
orang lain.
Tentu pada masa engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah
tak sempit lagi, bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira
sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu
naik becak atau bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang
emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini,
adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat
merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat
baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor
majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini cuma
berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang
teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan
minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah,”
kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia
pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher
dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu
engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah
dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum
berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena
dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang
menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di
satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena
dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka
di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma angan-angan saja. Tetapi waktu
itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut
kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan
duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia
sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati;
karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia.
“Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman
Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya
seperdua ratus detik saja beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada
arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis.
Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan
itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang
dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan
rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun
kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku
harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau
tiap-tiap orang bisa mengatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah
ikut menyumbang perekonomian negaranya, biar pun sumbangan itu cuma
sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli
sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan sembilan puluh juta
buku harian dan sembilan puluh juta pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan
itu, biar pun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku
sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
“Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,”
jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni
ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti
orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya
bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah
menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya
dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya
yang berbunyi: “Aku sudah malu pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan
hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan
mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu
meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
Sebenarnya nasihat ini, anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak
bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku.
Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu
itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat,
janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu
hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri,
anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung
yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga
hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan
bisa kerja apa saja, anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang
pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita
pendek di mana tertulis nama Ayahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat
yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa
alasan yang bisa kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha
mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan,
dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak
benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu
kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua
macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa
bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan
kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku
ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab
buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa
membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah isinya?”
“Macam-macam, di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak
bisa digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran
buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November, tepat pada hari
ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu
ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya
usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan
saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan
hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu
adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan
banyak manusia.
Sumber: Motinggo Busye dalam Jakob Sumardjo & Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
a) Struktur Teks Ulasan Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Supaya kamu dapat mengulas cerpen “Nasihat untuk Anakku” karya Motinggo
Busye dengan baik, kamu baca cerpen itu dengan cermat. Kemudian kamu ulas
berdasarkan struktur teks ulasan yang terdiri atas orientasi, tafsiran, evaluasi, dan
rangkuman. Di dalam mengulas cerpen, hal penting yang harus kamu perhatikan
adalah gambaran umum, ringkasan, serta kelebihan dan kekurangan dari cerpen
tersebut.
b) Tema Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Perlu kamu ketahui bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam
menulis cerita bukan sekadar ingin bercerita, tetapi ingin mengatakan sesuatu
pada pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakannya itu bisa masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini.
Semua kejadian dan perbuatan tokoh cerita, didasari oleh ide pengarang tersebut.
Sebuah cerpen harus selalu mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang
hidup ini sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik.
Bagaimana pesan pengarang tersebut dikemukakan dalam cerpen? Pesan itu
tentu saja tidak dikemukakan secara definitif. Pengarang menyatakan ide atau tema
dalam unsur cerita. Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh
elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh, jalan pikiran, perasaan,
kejadian-kejadian, latar cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya.
Seluruh unsur cerita mempunyai satu arti saja dan satu tujuan. Yang mempersatukan
segalanya itu adalah tema.
Pada tugas ini kamu (secara berkelompok) harus bisa menentukan tema cerpen
“Nasihat untuk Anakku’’. Tema yang sudah ditemukan oleh tiap-tiap kelompok didiskusikan di depan kelas. Untuk memandu kamu di dalam menentukan tema,
kamu jawab pertanyaan berikut.
1) Bagaimana sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan di dalam cerpen
“Nasihat untuk Anak’’?
2) Apakah nasihat yang dikemukakan oleh tokoh Ayah dalam cerpen ini juga berguna
bagi orang lain?
3) Apa alasan tokoh utama melarang anaknya menjadi pengarang?
4) Bagaimana pendapatmu tentang profesi pengarang?
Dengan demikian, apa tema cerpen tersebut? Tentukan tema tersebut dan sebutkan
alasannya.
c) Plot Cerpen “Nasihat untuk Anakku”
Plot sering juga disebut alur cerita. Contoh populer untuk menerangkan arti plot
ialah begini: Raja mati disebut jalan cerita, sedangkan raja mati karena sakit hati
adalah plot. Apa yang disebut plot dalam cerita memang sulit dicari. Ia tersembunyi
di balik jalannya cerita.
Jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah perwujudan, bentuk wadah,
bentuk jasmaniah dari plot. Perlu kamu ketahui bahwa plot tidak sama dengan
jalannya cerita. Contoh di atas jelas menunjukkan apa yang dimaksud dengan plot.
Raja mati hanyalah bernilai berita, tidak mengandung plot, sedangkan raja mati
karena sakit hati adalah plot karena tiba-tiba menjadi hiduplah imajinasi kita. Plot
dengan jalannya cerita memang tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Secara
umum plot sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
1) Pengenalan
2) Timbulnya konflik
3) Konflik memuncak
4) Klimaks
5) Pemecahan
Setelah mengenal elemen-elemen plot, kamu analisis cerpen “Nasihat untuk
Anakku” berdasarkan elemen-elemen plot tersebut. Hasil analisis ini juga kamu diskusikan secara berkelompok.
d) Karakter
Perlu kamu ketahui bahwa mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian
si penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, seluruh
cerita menjadi lemah. Ada beberapa jalan yang dapat menuntun kita sampai pada
sebuah karakter, yaitu (1) melalui apa yang dilakukan si tokoh, (2) melalui ucapanucapan
si tokoh, (3) melalui penggambaran fisik tokoh, (4) melalui pikiran-pikiran
sang tokoh, dan (5) melalui penerangan langsung (penulis membentangkan panjang
lebar watak tokoh secara langsung.
Pada bagian ini kamu diharapkan dapat menganalisis karakter tokoh di dalam
cerpen “Nasihat untuk Anakku”. Hasil analisis karakter tokoh ini kamu diskusikan
secara berkelompok.
e) Latar
Dalam cerpen modern latar telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang
penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Hanya tahu di mana suatu
cerita terjadi tidak cukup. Latar dalam cerpen modern telah menjadi jalinan dengan
unsur-unsur cerpen lainnya. Latar bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu
tertentu, melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, gaya hidup mereka, dan sebagainya.
Pada bagian ini kamu diharapkan dapat menganalisis latar di dalam cerpen “Nasihat
untuk Anakku”. Hasil analisis latar ini kamu diskusikan secara berkelompok. Pertanyaan
mendasar yang harus kamu jawab tentang latar adalah sebagai berikut.
1) Dapatkah latar dalam cerpen “Nasihat untuk Anakku” diganti dengan tempat
yang lain tanpa mengubah karakter dan isi cerpen?
2) Apakah latar akan tetap efektif pada keseluruhan cerpen kalau diabaikan atau
dihilangkan?
f) Sudut Pandang
Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang
diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Pada dasarnya ada empat
sudut pandang (point of view), yaitu (1) sudut pandang serba tahu (omniscient point
of view), (2) sudut pandang objektif (objective point of view), (3) sudut pandang orang
pertama, dan (4) sudut pandang orang kedua.
Selanjutnya, kamu diminta untuk menganalisis cerpen “Nasihat untuk Anakku”
berdasarkan sudut pandang.
g) Unsur Ekstrinsik Cerpen
Unsur ekstrinsik cerpen adalah unsur pembentuk cerpen yang berada di luar
cerpen. Unsur ekstrinsik cerpen tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat pada saat
cerpen tersebut dibuat. Unsur ekstrinsik ini mempengaruhi penyajian, gaya, dan isi
cerpen. Unsur ekstrinsik meliputi latar pengarang, politik, psikologi, sosial-budaya, dan agama.
Selanjutnya, secara berkelompok kamu diminta menganalisis unsur ekstrinsik
cerpen “Nasihat untuk Anakku”. Hasil analisis itu kamu diskusikan juga dengan
kelompok lain.
buku pegangan siswa bahasa Indonesia kelas VIII SMP
No comments:
Post a Comment