Tugas 4 Mengulas Cerpen “Emak dan Sepotong Roti”

Tugas 4 Mengulas Cerpen “Emak dan Sepotong Roti”


Pada Tugas 4 ini, kamu secara mandiri diharapkan dapat mengulas cerpen Emak
dan Sepotong Roti karya Caswati. Dengan demikian, kamu harus bisa menghasilkan
struktur teks ulasan cerpen Emak dan Sepotong Roti analisis instrinsik dan ekstrinsik
cerpen Emak dan Sepotong Roti. Selanjutnya, ulasan cerpen Emak dan Sepotong Roti
dapat kamu muat di majalah dinding atau majalah sekolah.
Emak dan Sepotong Roti
Oleh Caswati
Siang itu begitu terik. Pancaran sinar matahari tanpa ampun membakar punggung
Emak yang tengah mengumpulkan batu-batu kali dari sungai yang mengering.
Tampaknya, kemarau sudah kelewatan. Padahal, sekarang sudah memasuki bulan
Desember. Bulan yang disebut-sebut sebagai bulan hujan. Namun, hujan justru di
bulan ini tidak turun meski setetes. Akibatnya, bisa dilihat sendiri. Hampir semua
lahan persawahan mengering, menyisakan pohon pari yang menguning kering; tidak
ada rumput liar yang tumbuh menghijau; hanya ada batang-batang pohon kering yang
terus menerus menggugurkan daunnya setiap kali angin berhembus. Hah… sepertinya
kemarau sudah makin menggila. Lihatlah, satu-satunya sungai yang kami jadikan
sumber air pun mengering, seolah dihisap tanpa bekas, meninggalkan batu-batu terjal
yang membisu.
Tentu saja ini membuat keadaan desa kami makin terpuruk. Harus diakui, desa
kami memang termasuk desa miskin yang sering dilanda kekeringan saat musim
kemarau. Namun, desa kami belum pernah seterpuruk ini; sumber kehidupan kami
mengering tanpa sisa sehingga membuat para penduduk desa meninggalkan sungai
kerontang itu dan mencari sumber air di tempat lain.
Kecuali Emak. Bisa dibilang Emak adalah satu-satunya penduduk yang masih
setia mendatangi sungai kerontang itu. Bukan. Bukan untuk mengambil sisa-sisa air
sungai kerontang itu yang pasti. Seperti penduduk lain, Emak pergi ke gunung untuk
mendapatkan air. Setiap hari Emak datang ke sungai itu karena sebuah pekerjaan.
Sejak memasuki kemarau tahun lalu, Emak tidak lagi bekerja sebagai buruh
tani, melainkan sebagai pengumpul dan pemecah batu kali. Memang, pekerjaan ini
tampak—dan memang—terlalu kasar untuk seorang wanita seperti beliau. Namun,
setidaknya, bagi Emak dengan pekerjaannya ini ia bisa mencukupi kebutuhan
keluarganya, menyekolahkan kedua anaknya yang kini duduk di bangku kelas XII SMA
dan kelas 1 sekolah dasar.
Namun, sepertinya bukan awal kemarau tahun lalu bukanlah awal yang membuat
Emak menjadi wanita pekerja keras macam sekarang. Tepatnya, Emak menjadi tulang
punggung keluarga sejak meninggalnya bapak empat tahun lalu akibat epidemi yang
melanda desa kami. Ya benar. Sejak saat itulah Emak harus menjadi ibu sekaligus
kepala rumah tangga yang menafkahi kedua anaknya, Dani dan Dina.
Emak memulai pekerjaannya sebagai buruh cuci. Namun, karena tetangga kami
172 Kelas VIII SMP/MTs
kurang membutuhkan tenaganya, Emak berpindah menjadi buruh tani. Sayang, desa
kecil kami sering dilanda kekeringan berkepanjangan. Tidak banyak petani yang
menggarap sawahnya karena terlalu sering dirugikan oleh ulah kemarau yang angkuh.
Sebelumnya, Emak juga pernah menjadi buruh pikul di pasar. Akan tetapi, tubuhnya
yang kurus dan ringkih membuatnya tidak bisa terlalu lama melakoni pekerjaan itu,
belum lagi upah yang tidak seberapa, tidak sebanding dengan tenaga dan keringat
yang beliau keluarkan. Tidak sebanding juga dengan sakit pinggang yang sering Emak
rasakan setiap malam.
Akhirnya, Emak memutuskan untuk menjadi pengumpul dan pemecah batu kali. Emak mempunyai alasan sendiri mengapa beliau memilih pekerjaan kasar itu.
Bagi Emak, tidak selamanya kemarau dan kekeringan yang sering melanda desa
selalu membawa kerugian dan penderitaan. Setidaknya, walaupun kemarau lebih
sering meneteskan keringatnya daripada meneteskan air dari langit, kemarau masih
memberinya kehidupan. Bagi Emak keringnya air sungai tidak berarti mengeringnya
harapan untuk hidup seperti yang selama ini dikeluhkan banyak penduduk. Justru
dengan mengeringnya air sungai, Emak mempunyai peluang dan harapan untuk terus
hidup.
Setiap hari, seusai mengantar Dina sekolah, Emak memulai pekerjaannya
mengumpulkan dan memecahkan batu-batu dengan modal serok bambu dan palu besi
berdiameter sepuluh senti. Emak lakoni pekerjaan kasarnya dengan penuh kesabaran.
Dengan harapan dari setiap butir batu yang beliau kumpulkan; dari palu besi yang
beliau pukulkan; dan dari setiap keringat yang menetas dari kening dan tubuhnya,
dapat memberi penghidupan yang layak untuk dua buah hatinya.
Keinginannya sederhana. Emak hanya ingin Dani dan Dina tidak merasakan
kesulitan dan kesengsaraan seperti yang beliau rasakan selama ini. Emak tidak ingin
kedua anaknya merasa kekurangan selama beliau masih bisa berdiri dengan kedua
kakinya. Wanita paroh baya berwajah tirus ini biarlah beliau yang susah payah, banting
tulang memeras keringat, asal kedua anaknya bisa makan, bisa sekolah, bisa jajan, dan
yang jelas lebih bahagia darinya. Dan demi mereka juga, Emak rela tidak makan asal
Dina dan Dani makan tiga kali sehari.
Emak juga berharap, dari jerih payahnya mengumpulkan dan memecahkan batubatu
itu, beliau bisa menjualnya ke tukang bangunan. Tidak banyak memang yang
Emak peroleh dari kerja kerasnya selama lima hari atau seminggu. Biasanya Emak
memperoleh 40 ribu sampai 50 ribu rupiah untuk satu gerobak batu kali yang telah
beliau pecah.
Untunglah, Dani si anak sulung selalu membantunya—meski sebenarnya Emak
tidak sampai hati melihat anak gadisnya melakukan pekerjaan kasar itu. Jujur saja,
Dani cukup senang bisa membantu Emak bekerja, walaupun hanya mengangkuti batu
dari kali ke bawah pohon nangka di tepian sungai.
Kebetulan ini adalah hari Minggu. Hari untuk membantu Emak mengumpulkan dan memecahkan batu-batu kali. Bagi gadis berjilbab ini, hari Minggu dalam kamusnya
bukan hari di mana bisa tidur nyenyak hingga siang bolong atau bermalas-malasan di
kursi empuk sambil menonton acara televisi. Juga bukan hari untuk bersantai, jalanjalan
atau bersenang-senang dengan teman seumurannya.
Hari Minggu bagi Dani adalah hari untuk membantu Emak, mengingat tidak setiap
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 173
hari ia bisa membantu Emak. Setiap pagi Dani harus berangkat sekolah selepas subuh
dan baru sampai di rumah begitu azan Asar berkumandang—pada saat itu, biasanya
Emak sudah selesai bekerja.
Makanya, begitu ia selesai membersihkan rumah, memasak, mencuci dan beresberes
rumah, sesegara mungkin ia menyiapkan diri membantu Emak. Sambil membawa peralatan seperti yang dibawa Emak, Dani menggandeng adik semata wayangnya
melewati jalan terjal berumput kering yang agak menurun ke arah sungai.
Dari kejauhan tampak Emak dengan baju hijau kusam tengah duduk sambil
memecah batu kali di bawah sebatang pohon nangka yang mulai kehabisan daun.
Dani langsung duduk di sebelah Emak, sementara si kecil Dina dibiarkan bermainmain
batu di sekitar mereka.
“Batu yang Emak kumpulkan banyak juga,” kata Dani sambil mulai memukulkan
palu besinya.
“Kau seharusnya tidak di sini,” ucap Emak membuat kening Dani berkerut. Dia lalu
menatap Emak lekat-lekat, tetapi Emak sama sekali tidak balas menatapnya.
“Emak bilang apa?” Dani tak mengerti.
“Kau pulanglah. Ajak adikmu main. Emak bisa lakukan ini sendiri.” Tandasnya
sambil terus memukulkan palu, memecah batu, memecah kegersangan siang yang
membisu.
Dani terenyak, bingung memandangi Emak yang tiba-tiba terasa asing. Kenapa?
Ada apa?
“Kau dengar Emak ‘kan?” Tiba-tiba nada bicara Emak meninggi. Tentu saja ini
membuat Dani maupun Dina mengerjap. Selama ini Dani tak pernah mendengar
Emak bicara sedingin ini, apalagi tanpa menatapnya.
“Tapi....”
“Emak tidak pernah menyuruhmu membantu,” potong Emak makin keras
memukulkan palunya, memecah batu hingga berkeping-keping.
Masih kurang percaya, Dani akhirnya beranjak. Sambil menggandeng adiknya,
dia berjalan perlahan meninggalkan Emak yang sama sekali tidak menatapnya. Dani
menoleh, memandangi Emak yang menunduk sambil tak henti-hentinya memukulkan
palu.Dani menghela nafas, dia melangkah lagi. Kenapa Emak begitu? Marahkah Emak
padaku? Pikirnya.
Tepat pada langkahnya yang kelima, Dani dikejutkan dengan jeritan Emak yang
memantul dari satu sisi tebing yang lain. Sekonyong-konyong, dua kakak beradik
itu menoleh. Dani, matanya langsung membelalak begitu melihat tangan kiri Emak
terkulai di atas tumbukan batu dengan darah yang mengucur deras, sementara palu besi yang semula digunakan untuk memecah batu tergeletak tak berguna.
“Emak!” Pekik Dani langsung menubruk tubuh Emak yang bersandar di batang
pohon. Wajah tirus itu pucat, bibir keringnya gemetar, keringat di keningnya makin
santer mengalir, mata cekungnya terpejam.
“Innalillahi, Emak!” Dani berusaha menyentuh tangan kiri Emak sehalus mungkin,
tetapi justru membuat Emak makin mengerang kesakitan. Dani bingung. Ia ingin
membantu Emak, tetapi ia tak tahu harus melakukan apa, harus mulai dari mana.
Terlebih tubuh Emak tiba-tiba lemas seperti tanpa tulang. “Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?” gumamnya sambil berusaha
menyandarkan kepala Emak di dadanya.
“Dina, cepat panggilkan Lik Sukur dan Pak Ghozi. Cepat!” serunya pada Dina yang
sejak tadi hanya memandang bingung. Tanpa komentar, bocah bertubuh mungil itu
lantas berlari meninggalkan Emak dan Mbaknya.
“Emak, bertahanlah.” Ucap Dani bergetar tidak kuasa memandangi luka menganga
di tangan kiri Emak. Dani bahkan hampir menangis dengan keadaan Emak yang makin
melemah. Ditambah lagi cairan merah kental itu tidak henti-hentinya mengucur,
mewarnai tumpukan batu kelabu yang sekian lama beliau kumpulkan sedikit demi
sedikit.
“Daaaan...” ucap Emak lirih nyaris tak terdengar, membuat Dani harus sedikit
mendekatkan kepalanya.
“Ma... maaf... maafkan Emak...” ucap Emak lagi terbata, menahan perih yang
teramat sangat. Perih yang membuat semua kekuatannya terhempas ke awan, perih
yang membuatnya tidak bisa melakukan apa pun meski hanya sekadar membuka
mata. Ya, perih yang melampaui batas kemanusiaan.
Sejak tangan kirinya terluka dan tidak bisa bekerja, Emak jadi sangat pendiam.
Wajah sendunya jadi murung. Belakangan ini, Emak sering menghabiskan waktu
untuk melamun selama berjam-jam di bale-bale rumah. Tampak jelas di wajah
senjanya Emak memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuatnya tampak frustasi.
Beberapa kali Dani memergoki Emak menangis. Setiap kali didekati dan ditanya,
Emak selalu menjawab tidak apa-apa, selalu bersikap seolah beliau baik-baik saja.
Jujur, Dani semakin khawatir dengan keadaan Emak. Terlebih tangan kiri Emak
yang terluka belum sempat tersentuh tangan dokter karena kendala biaya. Luka di
tangan Emak hanya diobati dengan obat seadanya dan getah daun pinisilin yang
ditanam di kebun belakang. Akibatnya, luka menganga itu meradang, membengkakkan
bagian yang lain.
Dani yakin luka itu sudah menginfeksi tangan Emak. Ia sebenarnya ingin
membawa Emak ke bidan desa dengan sisa uang hasil penjualan batu beberapa hari
lalu. Hanya saja Emak selalu menolak dengan alasan bahwa Dani dan Dian lebih
membutuhkannya untuk ongkos sekolah. Emak juga menegaskan bahwa tangannya baik-baik saja dan akan segera sembuh. Dan yang dapat Dani lakukan tentu saja
menuruti kata-kata Emak, merawatnya dengan curahan kasih dan perhatian yang
tiada pernah mengering.
Usai salat Subuh, usai menyiapkan sarapan dan menyelesaikan hampir semua
pekerjaan rumah, seharusnya Dani cepat berangkat sekolah karena jarak 10 km yang
ditempuh dengan jalan kaki sering membuatnya terlambat sampai di sekolah. Entah
kenapa, pagi ini Dani merasa khawatir meninggalkan Emak. Dia merasa begitu karena
sudah tiga hari ini kesehatan Emak makin menurun. Ditambah lagi sejak kemarin
siang Emak tidak dapat beranjak dari ranjang.
“Emak ingin memberimu sesuatu, tetapi Emak tidak yakin apakah Emak bisa. Kau
minta apa?”
“Terima kasih, Mak. Doa dan kasih Emak sudah lebih dari cukup untuk Dani.”
Dani lantas menakupkan telapak tangan kanan Emak di pipinya yang mulus. Tangan
Emak terasa panas, juga lemas seperti tanpa tenaga.
“Kalau begitu, kau pergilah. Nanti kau bisa kesiangan. Emak akan baik-baik saja.”
Kata Emak pelan masih dengan tersenyum.
“Dani tidak masalah membolos sehari ini, Mak. Dani akan merawat Emak sampai
Emak benar-benar sembuh.”
Emak menggeleng pelan, pelan sekali sambil memejamkan matanya yang sayu.
“Tidak. Kau harus sekolah. Kau harus menjadi yang terbaik seperti yang sering kau
katakan pada Emak.”
“Tapi, Mak,” lanjut Dani, “Hari ini Dani ada kelas sore. Itu artinya Dani akan pulang
sampai malam.”
Emak tersenyum tipis, itu pun terkesan dipaksakan, “Kau pergilah sekolah.
Tunaikan kewajibanmu sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua. Emak
tidak meminta apa pun padamu selain keberhasilanmu, kebahagiaanmu agar tidak
bernasib seperti Emak.”
Berat, Dani menurut juga.
“Baiklah, Mak. Dani berangkat. Assalamualaikum...” ucapnya sambil mengecup
punggung tangan kanan Emak.
Emak tersenyum memandangi punggung anak sulungnya yang tampak bersahaja.
Emak tidak menyangka bahwa anak sulungnya telah tumbuh menjadi gadis cantik
berhati mulia. Namun, ada sebuah rasa yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Sesuatu
yang menyusup, menggetarkan hati dan pikirannya. Sesuatu yang membuatnya kecewa
pada dirinya sendiri.
Emak lalu menoleh pada Dina yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Pelan Emak
berkata, “Kau lihat Mbakmu itu, Din? Kau harus seperti dia, ya?” dan, si kecil Dina pun
mengangguk tegas.
Samar-samar dari balik pekatnya malam, Dani bisa melihat lampu rumahnya
menyala, menembus sela-sela gedheg dinding rumahnya. Sementara suara azan tanda
salat Isya yang berkumandang dari surau tua yang berdiri kokoh di ujung jalan seolah
menyambut kepulangannya dari sekolah.
Pelan, Dani mendorong pintu bambu rumahnya. Sambil mengucap salam, ia lantas
masuk. Tampak olehnya, di ruang tengah berlantai tanah dengan beberapa kursi
bambu dan sebuah meja yang sudah reot, Emak dan Dina tengah menunggunya. Dani tersenyum manis melihat tatapan polos adiknya, sementara Emak menelungkupkan
kepala di atas meja. Sepertinya Emak sangat kelelahan, pikir Dani.
Senyum Dani makin mengembang ketika matanya membentur bayangan sepotong
roti tar dengan sebatang lilin kecil yang menyala. Roti sederhana yang Dani yakin dibeli
Emak di toko kue di ujung jalan desa. Roti yang selalu Emak berikan setiap kali anakanaknya
ulang tahun. Jadi, ini yang ingin Emak berikan untukku? Pikir Dani setengah
ingin menangis karena terlalu senang. Bagaimana mungkin Emak menyempatkan
diri membeli sepotong roti sementara tangannya yang terluka dibiarkan tak tersentuh
dokter? Terawang Dani.
“Ini untuk Mbak Dani.” Kata Dina memecah keheningan. Mata jernihnya menatap
Dani, “Emak bilang minta dibangunkan kalau Mbak Dani pulang.”
Dani tersenyum lantas mengangguk. Ia berjalan ke sebelah kiri Emak lalu
mendekatkan kepalanya ke kepala Emak yang menelungkup. Pelan ia berkata, “Emak...”
Emak bergeming. Tampaknya Emak telah terlelap “Emak, Dani pulang...” lanjut Dani kali ini sambil merangkul bahu Emak.
Masih belum ada jawaban.
Tiba-tiba seberkas rasa khawatir menjalar ke sekujur tubuhnya. Perlahan tapi pasti.
Kekhawatiran itu menyurutkan senyum di bibir mungilnya. Ya, kekhawatiran yang
dirasakan bersama dengan rasa dingin dari punggung Emak.
“Emak!” kini Dani sedikit mengguncangkan bahu ringkih itu hingga kepala wanita
separuh baya itu terkulai begitu saja di lengannya. Sejenak, Dani pandangi wajah Emak
yang pasih. Tiga detik kemudian ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang berbeda,
sesuatu yang belum sempat ia pikirkan.
Wajah tirus Emak pucat pasih dengan seulas senyum dingin mengembang di bibir
kering yang jarang tersentuh air. Matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang
tidur. Dani pias. Entah kenapa tiba-tiba tulang-tulangnya seperti dilolos satu persatu.
Dani seperti tersadar, ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang
pergi bersama dengan sebatang lilin yang meleleh di atas sepotong roti, sesuatu yang
pergi bersama nyala lilin yang berkedip-kedip tertiup angin, sesuatu yang pergi diiringi
semayup suara iqomah dari surau tua di ujung jalan.....
Sementara si kecil Dina memandangi dua anggota keluarganya bergantian.
Kepolosannya menjadi saksi perjuangan Emak mengumpulkan dan memecahkan
batu-batu kali demi sepotong roti untuk anak yang beliau kasihi.
Persembahan untuk Emak
Wanita mengagumkan dalam hidupku
Caswati, lahir di Jakarta, 23 September 1989 Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada,
bertempat tinggal di GMNU, Jalan H.O.S. Cokroaminoto TR III/890B, Gg. Ngadimulyo, Sudagaran, Yogyakarta, telepon
(0274) 619730
Sumber: Balai Bahasa Yogyakarta. 2007. Mata Hati Antologi Puisi dan Cerpen Hasil Lomba dalam Rangka Bulan Bahasa
dan Sastra 2007. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa Balai Bahasa Yogyakarta




buku pegangan siswa bahasa Indonesia kelas VIII SMP

No comments:

Post a Comment