Resensi Drama yang Ditonton
Resensi drama yang ditonton merupakan pertimbangan atau
pembicaraan tentang drama yang ditonton. Resensi bertujuan memberikan
rangsangan kepada pendengar agar menonton pementasan drama
tersebut. Selain itu, resensi akan membantu penulis drama memperkenalkan
drama tersebut kepada khalayak.
Unsur-unsur resensi drama sebagai berikut.
1. Identitas naskah drama
Identitas naskah drama meliputi judul drama, penulis, sutradara,
tahun pembuatan, dan jumlah halaman.
2. Penokohan
Penokohan merupakan kegiatan melisankan naskah drama yang
disesuaikan dengan gerak/akting. Penokohan meliputi:
a. penjiwaan pemain dalam memerankan karakter yang dimainkan;
b. ekspresi yang digunakan pemain;
c. gerak-gerik pemain;
d. lafal yang digunakan pemain;
e. intonasi yang digunakan pemain; serta
f. volume suara yang digunakan pemain.
3. Tata rias
Tata rias dapat memberikan bantuan kepada pemain untuk membuat
perubahan pada wajah pemain sesuai dengan karakter yang akan
diperankan. Misalnya mengubah pemain yang masih muda menjadi
nenek tua.
4. Pakaian atau kostum
Pakaian atau kostum dapat mendukung pemain untuk memerankan
karakter yang diperankan. Misalnya pemain menggunakan baju kotor
untuk memerankan tokoh pengemis.
5. Tata panggung
Tata panggung menggambarkan latar cerita drama. Misalnya di
panggung terdapat lampu minyak dan beberapa kursi tamu berarti
cerita drama yang dipentaskan mempunyai latar tempat di ruang tamu
pada malam hari.
6. Tata bunyi
Tata bunyi akan membantu menggambarkan situasi yang terjadi dalam
pementasan drama. Misalnya saat pementasan terdengar suara
jangkrik berarti suasana saat pementasan drama sedang sunyi
sehingga hanya suara jangkrik yang terdengar.
7. Tata lampu
Tata rias bertujuan menerangi dan menyinari pentas dan aktor. Tata
sinar dapat juga membantu dalam menentukan keadaan jam, musim,
dan cuaca. Selain itu, tata sinar juga berfungsi menambah nilai warna sehingga tercapai adanya sinar dan bayangan.
contoh resensi:
Resensi Pementasan Teater Tetas
1. Judul naskah
Judul naskah drama yang dipentaskan Julung Sungsang.
2. Sutradara
Sutradara pementasan drama ini Ags Arya Dipayana.
3. Pemain
Pemain drama antara lain Meyke Vierna, Dalang Slamet Gundono, Nanang
Hape, puluhan anggota teater SMA di Jakarta, teater Kampus, dan sanggar
anak di Jakarta, serta penari Elly Luthan.
4. Tempat pertunjukan
Pementasan drama bertempat di Gedung Kesenian Jakarta.
5. Penokohan
Para pemain berdialog, meratap, bermain sembari duduk, berdiri berebut,
atau menumpuk-numpuk kursi.
6. Tata rias dan kostum
Para pemain tidak ber-make-up berlebihan, tidak berkostum berlebihan (anehaneh),
hanya menyandarkan pada ekspresi sehari-hari masyarakat seperti
ratapan, gerak bebas tanpa koreografi, humor pahit.
7. Tata panggung
Tata panggung dirancang menyerupai tempat penyulingan air, tampak ada
tandon air, sebuah pipa panjang mengalirkan air ke tong yang dipanaskan.
Air hangat terus disalurkan pipa ke aquarium dan sebuah kuali. Para pemain
juga menggunakan kursi-kursi kecil untuk membantu akting mereka.
8. Tata lampu
Tata lampu di sekitar tempat penyulingan air tersebut bertaburkan cahaya
biru, merah, dan hijau.
9. Sinopsis cerita
Teater Tetas memberi judul pertunjukannya Julung Sungsang. Dalam
kepercayaan Jawa, anak yang lahir pada saat matahari di titik kulminasi atau
julung sungsang, seperti juga anak yang lahir bersamaan dengan terbit
matahari (julung wangi) atau anak yang lahir pas tenggelamnya matahari (julung
pujud) harus diruwat.
Pada suatu hari Arimbi, seorang raksasa yang menyamar sebagai wanita
rupawan, menikah dengan Bima. Ia melahirkan Gatotkaca pada saat julung
sungsang. Julung sungsang adalah simbol zaman salah kaprah.
Gatotkaca tumbuh menjadi pemuda gagah dan baik. Gatotkaca yang
budiman, dalam Gatotkaca Sraya, dikisahkan mendampingi Abimanyu
mempersunting Utari, putri Wirata. Secara tidak sengaja Kalabendana–sang
paman–mengungkap rahasia bahwa sesungguhnya Abimanyu telah beristri
Dewi Siti Soendari. Gatotkaca marah. Ia mematahkan leher Kalabendana.
Kesalahan Gatotkaca ini yang ingin ditonjolkan Teater Tetas. Gagasan
menarik ini, sayangnya, dalam eksekusi pengadeganan kurang menciptakan
imajinasi. Untuk membangun metafor–tentang tragedi Arimbi, Gatotkaca,
Kalabendana–banyak adegan mengolah kursi-kursi kecil.
Sesungguhnya kerja sama dengan Dalang Nanang Hape bisa lebih liar
dalam visual. Akan tetapi, saat Kalabendana melihat antara Abimanyu dan
Utari ditampilkan, Nanang Hape hanya sedikit menunjukkan sabetan wayang
kulit. Agaknya, Teater Tetas ingin menampilkan diri secara rileks. Di setiap
penampilan, Teater Tetas selalu menampilkan ritual pembuka yang melibatkan
komunitas tempat Teater Tetas tampil.
Tidak mudah memang, mencoba menghubungkan instalasi rongsokan
penyulingan dengan bangunan cerita jika tidak menikmati pertunjukan hingga
usai. Karena pada adegan penutup itulah: air mengucur dari kuali. Seluruh
pemain di panggung bergantian berwudu. Dengan air yang telah ”disucikan”,
mereka mencuci kaki, tangan, raut muka, dan telinga. Lalu berjajar menghadap
penonton melantunkan salawat Nabi, seolah meruwat agar kita semua tidak
seperti Gatotkaca.
Disadur dari: Tempo, 5 Maret 2006
sumber: BSE
No comments:
Post a Comment