TEORI HERMENEUTIKA
TEORI HERMENEUTIKA
A. Pengantar
Secara kodrati, manusia dalam implementasinya pada kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari tiga kedudukan fungsi utama, yaitu: pertama: sebagai makluk individu yang harus bertanggungjawab terhadap pengembangan jati diri, kedua: sebagai makluk sosial yang pada esensinya manusia harus dapat membawakan dirinya ke dalam komunitas tertentu bergabung dengan individu-individu lainnya, dan ketiga adalah sebagai makluk tuhan yang pada gilirannya bahwa manusia bukanlah hanya sekedar sebagai makluk individu dan sosial melainkan manusia secara koheren dalam kedua kedudukan fungsionalnya tersebut manusia juga harus menyadari bahwa dirinya hadir dalam dunia ini meyakini adanya Al Khalik yang menciptanya (tesis/pendapat ini disampaikan dalam konteks negara yang mewajibkan warganya untuk beragama, bukan pada negara sekuler, komunis, atau liberal). Ketiga kedudukan ini pada peristiwa kehidupan sehari-hari tidak dapat berdiri sendiri. Satu sama lain menyatu secara simultan dalam rangka untuk memperoleh jatidirinya, sehingga layak untuk disebut bahwa manusia adalah makluk multidimensional.
Menyangkut peristiwa komunikasi tersebut, baik komunikasi internal maupun eksternal, komunikasi vertikal maupun horisontal, maka manusia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang melibatkanya dalam sebuah peristiwa komunikasi. Faktor-faktor itu di antaranya adalah (1) sistem tanda atau bahkan simbol yang digunakannya dan (2) makna yang tersirat di dalamnya. Agar peristiwa komunikasi dapat berjalan secara efektif 1), maka kedua unsur pelibat komunikasi—dalam hal ini komunikator dan komunikan—harus memiliki seperangkat konsep pemahaman yang kompleks sehingga tidak terjadi deviasi pamahaman terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal inilah kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Mengapa hal ini dipandang perlu? Semua itu dikembalikan pada karakter simbol itu sendiri, di mana simbol itu dapat bersifat monointerpretabel dan dapat pula bersifat poliinterpretabel. Pesan yang bersifat distingtif-denotatif dan pesan yang bersifat konotatif, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Menyangkut permasalahan mono dan poliinterpretabel ini, maka tema ini menjadi penting untuk dipaparkan dan dibahas
Terjadinya pro dan kontra mengenai keberadaan hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna.
Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun masjid, membantu sesama manusia, bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya
B. Sejarah hermeneutika
Istilah Hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan kata benda hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi). Dalam bahasa Yunani hermeios mengarah kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata kerja Hermeios dan kata kerja lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Pada intinya orang Yunani berhutang budi kepada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan-sebuah mediasi di mana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain. Hermes “membawa pesan takdir; hermeneuein mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sejauh ia diberitakan bisa menjadi pesan. Tindakan “mengungkap” ini menjadi penjelas “yang tertata” terhadap apa yang sudah dikatakan. Dengan menelusuri akar kata palingt awal dalam Yunani, orisionilitas kata modern dari hermenuetika dan hermenutis mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Ada tiga bentuk makna dasar hermeneuein dan hermeneia yang diasosiasikan dengan Hermes dalam mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami”, yaitu; mengatakan, menjelaskan dan menerjemahkan. Ketiga-tiganya bisa diwakili dalm bentuk kata dalam bahasa Inggris “to interpret”
Persoalannya, kata latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.
C. Teori dan konsep
Menurut Gadamer hermeneutik adalah pertemuan dengan Ada (being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Karakter linguistik realitas manusia itu sendiri, dan hemeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutik yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distigtif dan sentral dalam hermeneutika.”yang kita maksudkan dalam hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.
Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami.
Namun berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
a. Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b. Hermeneuein sebagai menjelaskan “to explain”
Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya, membuat jelas. Seseorang bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan menjelaskan juga merupakan bentuk interpretasi.
c. Hermeneuein sebagai menerjemahkan “To Translate”
Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri.
Dan ada enam definisi modern hermeneutik menurut Richard E. Palmer (2005;43-49)
1) Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel
Bentuk pemahaman yang paling awal dari hermeneutika adalah merujuk pada prisnsip-prinsip interpretasi pada Bibel. Lingkungan Protestan merasa sangat butuh terhadap pedoman interpretasi untuk membantu para pendeta dalam menafsirkan kitab suci. Pada hakekatnya hermeneutika ditunjukkan oleh hermeutika Bibel, dan yang lainnya mengenai persoalan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “terembunyi” di balik teks.
Dalam teologi, hemermeneutika sebagai tafsir historis pesan Bibel. Sejarah hermeneutika Bibel dapat ditelusuri melalui gereja primitif; interpretasi ganda Bibel abad pertengahan; interpretasi mistik; dogma; humanistik, dan sistem lain dari interpretasi.
2) Hermneutika Sebagai Metodologi Filologhis
Filologi klasik lahir bersamaan dengan perkembangan rasionalisme, dan hal tersebut mempengaruhi hermeneutika Bibel. Di situlah muncul kritik historis dalam teologi dalam memaknai interpretasi Bibel yang beraliran gramatis dan historis. Keduanya menjelaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel, dapat juga diaplikasikan pada buku yang lain.
Konsep hermeneutik yang bernuansa Bibel akan berubah ke dalam hermeunetika sebagai kaidah umum dari eksegesis filologi, dangan Bibel salah satunya.
3) Hermeneutika Sebagai pemahaman Ilmu linguistik:
Terhadap hermeneutika sebagai ilmu dan seni pemahaman, Schleiermacher memiliki distingsi tersendiri tentang pemahamannya. Konsepsi hermeneutika diimplikasikan sebagai sebuah kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena ia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika menjadi ”sistematis-koheren”, yakni sebuah ilmu yang berusaha mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam berbagai aneka dialog. Hasilnya bukan ”hermeneutika filologi”, tetapi ”hermeneutika umum” (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya dapat digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks, yaitu sebuah hermeneutika yang menandai permulaan ”hermeneutika non-disipliner” yang sangat signifikan.
Untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka suatu kajian itu hendaknya memiliki berbagai persyaratan dan prinsip, sedangkan untuk mempermudah pendekatan terhadapnya maka ilmu harus juga memiliki berbagai macam ciri yang menjadi esensi dari sistem ilmu itu sendiri. Terdapat sedikitnya empat persyaratan utama untuk sebuah ilmu, yaitu: (1) harus bersistem, (2) memiliki metode (3) objektif, dan (4) harus memiliki tujuan secara jelas dan dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Di samping itu ilmu juga harus memiliki berbagai macam prinsip, di antaranya adalah faktualitas, intelektualitas, konsistensi, kontinuitas, dinamis, dan netralitas, sedangkan untuk memperkuatnya, maka ilmu memiliki berbagai ciri, yaitu empiris, analitis, instrumental dan verifikatif.
Selanjutnya, dilihat dari segi bentuknya, ilmu harus merujuk pada sekumpulan pendapat atau pengetahuan yang disusun secara sistematis, diperoleh melalui proses metodologis dari observasi, eksperimen dan empiri secara objektif tentang alam semesta. Untuk itu, maka ilmu adalah pengetahuan teratur dan terbuktikan, yang secara rasional dan metodis muncul dari data yang diperoleh dari pengamatan, percobaan dan pengalaman, sedangkan konsep-konsep sederhana, dan kaitan-kaitan cerapan menjadi rumusan generalisasi, teori, kaidah, asas, dan penjelasan-penjelasan menjadi konsepsi yang menyeluruh atas sistem konseptualnya. Lantas bagaimana dengan hermeneutika?
Hermeneutika dalam posisinya sebagai ilmu tidak dapat dilepaskan dari berbagai prinsip dan persyaratan seperti dimaksud di atas. Untuk itu, dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap hermeneutika sebagai disiplin, maka berikut ada pentingnya dipaparkan posisi hermeneutika lengkap dengan sistemnya sesuai dengan sistem ilmu yang harus dipatuhi, sedangkan untuk pendekatannya digunakan ancangan secara historiografis.
4) Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften
Hermeneutika dalam hal ini adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi Geisteswissenschaften atau disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Hermeneutika ini merupakan disiplin yang memfokuskan pada interpretasi , dan khususnya terhadap interpretasi objek yang senantiasa bersifat historis.
filsafat besar pada akhir abad ke-19, Wilhelm Dilthey, sekaligus sebagai seorang penulis biografi Schleiermacher, yang menyatakan bahwa hermeneutika adalah ”inti” dari disiplin ilmu yang dapat memberikan pelayanan sebagai pondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).
Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berupa karya sastra, hukum, maupun kitab suci harus memerlukan metode pemahaman tersendiri, yaitu tindakan pemahaman secara historis. Dilthey memfokuskan pada herhemeneutika sebagai kajian interpretatif terhadap objek yang senantiasa memiliki dimensi historis yang kemudian diformulasikan dengan dasar-dasar humanis menjadi sebuah metodologi humanistik yang nyata bagi geisteswissenschaften.
5) Hermeneutka sebagai Fenomenologi Eksistensi dan Pemahaman Eksistensial.
Hermeneutik dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks namun penejelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Gadamer dalam pendapatnya menyatakan bahwa karakter linguitik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-pesoalan yang sangat filosofi dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Martin Heidegger, dalam menyingkapi persoalan ontologis meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being And Time(1927), sebagai “hermeneutika dasein”.
6) Hermeneutika sebagai Sitem Interpretasi
dalam konteks ini hermeneutika mempunyai makna proses penguraian yang beranjak dari isi dan maknayang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasinya biasanya berupa teks dalam pengertian yang luas , bisa berupa simbol dalam mimpi atau mitos dari simbol masyarakat atau sastra. Freudian menggiring kita kearah ketidakpastian terhadap apa yang telah kita ketahui, antara mitos dan kenyataan, bahkan agama kita sendiri bisa kita curigai atau berkurangnya rasa kepercayaan kita terhadap apa yang kita yakini.
Recoeur mengatakan bahwa ada dua makna sindrom yang sangat berbeda dari hermeneutika pada masa modern : pertama yang dipresentasikan oleh demitologisasi bulltmann, yang harmonis berkaitan dengan symbol dalam usaha untuk memperoleh makna tersembunya didalamnya kedua, berusaha untuk menghilangkan symbol sebagai representasi kesemuan realitas. Ia menghancurkan topeng dan ilusi dalam upaya rasiona yang sunggu-sungguh pada model “demistifikasi”.
Fokus Ganda Hermeneutika
a. Teori Pemahaman
dalam konteks ini teori pemahaman sangat relevan bagi hermeneutika ketika pengalaman hidup, peristiwa pemahaman, dijadikan sebagai pijakan. Berpikir diorinetasikan kepada fakta, sebuah peristiwa di dalam semua kekonkritannya, daripada sekedar gagasan, ia menjadi fenomenologi dari peristiwa pemahaman. Fenomena pemahaman ini tidak boleh dipahami secar sempit dan doktrinal, namun demikian ia harus terbuka bagi semua bidang yang lain di mana ia dapat menyumbangkan sesuatu penangkapan yang utuh tentang apa dan bagaimana pemahaman terjadi, seperti epistimologi, ontologi, teori pembelajaran, analisis logika, dan sebagainya.
b. Problem Hermeneutis
Hermeneutik harus melangkah lebih jauh lagi dalam tindakan kompleks pemahaman ini. Hermeneutik harus dapat memformulasikan teori linguistik dan pemahamn historis seperti fungsi dalam interpretasi teks. Interpretasi yang luas dalam problem hermeneutik ini berusaha melihat peristiwa pemahaman teks sebagai hal yang selalu mencakup momen dalam kaitannya dalam konteks sekarang.
D. Tokoh-tokoh Besar Hermeneuistik
1. Hermeneutik Daniel Schleiermacher
Beliau adalah seorang salah satu raksasa intelektual di jamannya. Namun kendati beliau tidak pernah menulis suatu traktat yang sistematik tentang hermeneutik dan hanya meninggalkan beberapa catatan kecil kompedium kuliah, Schleiermacher telah meletakkan dasar hermenautika modern. Rekonsepsinya tentang hermeneutika, yang terbit dari refleksinya sebagai ahli eksegetika dan filologi, dipengaruhi oleh Plato, dan dinalar dalam konteks sistem idealisme Schelling, Fichte, dan Hegel.
Schleiermacher melihat dua masalah universal dalam hermeneutika, yakni perjumpaan dengan sesuatu yang asing dan kemungkinan salah paham manakala kita harus memahami pikiran atau sejumlah pikiran lewat kata-kata.
Arah baru yang dibicarakan oleh Schleiermacher adalah tekanan pada pemahaman terhadap hal yang dikatakan dalam suatu dialogia. Proses komparatif dan divinatorik yang merupakan penetrasi ke dalam struktur kalimat dan struktur pikiran pencipta hingga mengerti keaslian yang berasal dari dalam karya, yaitu proses hermeneutika. Hermeneutika adalah kegiatan mendengarkan yang penetratif tersebut dan disinilah hakikat hermeneutika harus dikaji dan dipelajari.
Bagi Schleiermacher, pemahaman tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta teks. Kita berangkat dari ungkapan yang sudah pasti dan selesai serta meniti kembali kenyataan kejiwaan yang menjadi pangkal tolak ungkapan tersebut.
Semakin tegaslah Schleiermacher bahwa objek operasi hermeneutika terdapat di dalam dua bidang, yakni bahasa dan pikiran. Schleiermacher mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu teknologi, bukan proses mekanikal, bukan ilmu, untuk menyusun kembali pikiran/pemikiran orang lain.
Schleiermacher melihat gaya bukan sebagai masalah hiasan. Gaya menandai kesatuan pikiran dan bahasa, kesatuan umum dan khusus di dalam proyek seorang pencipta. Pemikiran Schleiermacher bergeser dari konsepsi hermeneutika yang terpusat pada bahasa ke konsepsi hermeneutika yang terpusat pada masalah kejiwaan, masalah menentukan atau merekonstruksi suatu proses mental yang yang hakikatnya tidak lagi bersifat kebahasaan. Ia melampaui diskusi tentang bangunan aturan-aturan.
Minatnya pada masalah kejiwaan adalah prestasi khas Schleiermacher, tetapi ia cenderung mengaburkan unsur kesejahteraan dan unsur pentingnya bahasa dalam analisis arti.
Proyek Hermeneutika Umum Schleiermacher
a. Interpretasi Gramatis
Diawali dengan menempatkan pernyataan berdasarkan aturan objektif dan umum. Interpretasi gramatis melihat karya dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam struktur kalimat maupun interaksi bagian-bagian karya, dan juga untuk karya lain dari tipe literatur yang sama. Maka dari itu kita dapat melihat prinsip-prinsip bagian dan keseluruhan karya bekerja dalam interpretasi gramatis.
b. Interpretasi Psikologis
Pendekatan Psikologis menggunakan koparatif dan firasat dalam dalam memahami pengarang. Dalam menggunakan metode firasat diharapkan seseorang dapat keluar dari diri sendiri dan mentransfer formasikan dirinya ke dalam diri pengarang supaya ia dapat menangkap secara langsung proses mental pengarang. Ini tidak hanya untuk memahami pengarang dari sudut pandang psikologis, tapi juga untuk mendapatkan maksud mengarang dari dalam teks.
2. Hermeneutik wilhelm Dilthey
Dalam hidupnya dilthey memiliki pemikiran-pemikiran dalam hermeneuistik sebagai fondasi gesteswissenschften yakni:
a. Pengalaman
Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan diyakini mempunyai makna yang umum. Dengan kata lain suatu pengalaman melukis yang penuh makna, misalnya mencakup banyak perjumpaan dengan pangalamn-pengalaman lain yang dipisahkan oleh waktu namun tetap saja disebut sebagai sebuah pengalaman.
b. Ekspresi
bagi Dilthey ekspresi terutama bukan merupakan pembentukan perasaan seseorang, namun lebih sebuah ekspresi hidup, sebuah ekpresi mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa dan segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam manusia.
c. Karya seni sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup
Karya seni tidak hanya menunjuk pada pengarangnya secara keseluruhann namun menunjuk pada hidup (kehidupan itu sendiri).
d. Pemahaman
Pemahaman merupakan proses jiwa yang dapat memperluas pengalaman hidup manusia. Pemahaman memiliki manfaat membebaskan dari teorisasi rasional. Pemahaman bukan hanya merupakan tindakan pemikiran, namun merupakan proses transposisi dan pengalaman dunia kembali. Ia merupakan pengoperasian pikiran-pikiran kosong yang mencapai tranposisi pra-reflekif dari seseorang kepada orang lain.
3. Suwardi
Hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu;
a) Penafsiran yang bertolak dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Penghayatan diperlukan dalam penafsiran. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal.
b) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga dapat disusun denga “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir dapat menyususn kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga bisa menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik.
c) Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar bahwa ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah baik penerima maupun penafsiran; cara ia mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan oleh indifidu dan masyarakatnya. Dalam hal ini proses penafsiran sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasaran terakhir adalah agar penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri.
d) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Hal ini sering dilakukan dengan presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH. Dhini, Isma Sawitri dan sebagainya. Penafsiran terfokus pada gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi.
e) Penafsiran yang berpangkal pada suatu problematik tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini beranggapan penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Namun hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik.
f) Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berpedoman pada pembaca ini dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca
4. Heidegger
Menurut heidegger, Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya.
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini. (ilmu tuhan blogspot)
Kontribusinya terhadap seni berasal dari hakikat seni bukan terletak pada nilai keterampilan manusia, namun justru pada pengungkapannya. Menafsirkan karya seni berarti beralih ke dalam ruang yang terbuka di mana karya tersebut telah ditegakkan. Kebenaran seni bukanlah harmonisasi dangkal dengan sesuatu yang sudah ada (yakni pandangan tradisional akan kebenaran sebagai hal yang benar).
5. Gradamer dalam kritiknya
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama.
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
E. Contoh Analisis Hermeneutika
Dalam memahami makna yang terdapat pada sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” penulis Abdul Wachid B.S ingin memberikan sebuah kolaborasi antara puisi-puisi modern dengan puisi sufistik yang bersangkutan dengan relegiusitas makna mendalam, dan membuka segi simbol yang tak jelas, pembaca dituntut untuk memahami dan mencari pengertian dan hakekat nun sebenarnya, berikut teks sajak yang dianalisi “Ingat kamu, nun”.
Ingat kamu, nun
Ingat kamu, nun
Jauh jarak tak jua tertempuh
Seperti dari bumi ke langit tujuh
Wajah langit cerah bagai baju birumu
Menjadikan aku selalu diharu biru
Ingat kamu, nun
Jauh dari alam mimpi dibangun dini hari
Lalu kubuka jendela, ku buka pintu
Ku basuhkan air sumber dengan kasih sayang
Seperti mengingat wajahmu
Pada jam-jam tahajut itu
Air suci membawa kesembuhan hati
Ingat kamu, nun
Jauh sekaligus dekat
Diluar ruang-waktu sekaligus
Selalu di dalam taman yang bernama hati
Kamu menggedor-gedor kesadaranku
Kamu mengikut kabut disubuh putih
Kemudian kamu menjelma matahari pagi
Menerobos cela-cela jendela
Kamarku, menjadikan dunia aku
Selalu diharu-biru
Ingat kamu, nun
Dari awal hingga ke ujung jalan waktu
Kamu menguntit langkah kakiku
Kadang menarik-narik bajuku dari belakang
Kadang menghalang-halangi pandanganku ke depan
Bahkan kamu menjegalku
Sekedar agar akau terjatuh
Lau bersimpuh didepan
Mu
Ingat kamu,nun
Jarak tempuh mana lagi akan
Kucari-cari: kamu menghilang
Kamu hanya meninggalkan jejak-jejak keindahan
: kupu-kupu putih yang
Kemudian lenyap dibalik
Perumpung bunga
-Yogyakarta, Januari 2009-
Dalam memahami puisi “Ingat kamu, nun” di atas,sesungguhnya banyak sekali makna yang menarik untuk dipecahkan, pengarang dalam sajaknya berperan sebagai hamba yang mencari ke Agungan Tuhan-Nya. Pencarian itu dimulai dari diksi yang menyimpan rahasia besar dibalik simbol, atau makna Nun sendiri, sebagaimana telah di tulis di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam, berangkat dari huruf tersebut penulis Abdul Wachid B.S mengambil satu huruf yang cukup menarik dan mempunyai rahasia besar akan kebesaran Allah. Dalam puisinya yang lain dalam satu antologi puisi berjudul “Yang” terdapat satu sajak yang membicara tentang huruf nun yang berjudul “Di ujung nun”.
…
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
…
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
-Yogyakarta, Januari 2009-
Rahasia dalam huruf nun di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam membawa pengarang dalam sebuah pemikiran hakikat logika yang dicapai seoarang hamba kepada Tuhannya untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah; (ن = Nuun) kemudian dilanjutkan dengan ayat kedua (وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ = Demi qolam dan apa yang mereka tulis).
Ada sekelompok aliran dalam Islam yang menafsirkan bahwa nun hanya Allah yang tahu, dan nun adalah singgasana Tuhan yang terdapat jauh di atas sana. Kalau penafsiran ini benar tentu saja tempat dan kedudukan bagi Tuhan itu menduduki dan haruslah memiliki pennafsiran yang paling tinggi.
Kita sudah pasti tidak akan dapat menjelaskan huruf nun tersebut mempunyai makna apa Wallahu a’lam karena nun adalah esensi yang sangat rahasia dari rahasia Allah dan keagungan Allah, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. seluruh keagungan Tuhan yang digambarkan dengan nun atau dalam arti harfiah kamus bahasa Indonesia berarti yang paling. Dalam penafsiran adalah kemahaberkuasaan (Kamiliyah) dan kebesaran (Jalaliah). Oleh sebab itu sifat-sifat ini kerahasiaan ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya.
Secara` konteks interen puisi “Ingat kamu, nun” berhubungan dengan sajak “di ujung nun” yang masih dalam satu antologi puisinya Abdul Wackid B.S
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu dimana?
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
Tingkat penggambaran antara dua cabang yang menuju jalan dimana pengarang menggunakan kalimat “Bila yang satu naik, bila yang satu turun” ketetapan apa yang dilakukan oleh manusia dimuka bumi akan menghantarkan perbuatannya atau tingkatan keimanan dan ibadah yang menentukan kelak dialam baqo’ akan diketahui dia berada di atas atau dibawah, esensi ini sama dengan penegasan Allah, segala amal akan diperhitungkan, yang digambarkan melalui diksi naik dan turun hal ini sama dengan surga dan neraka, dan satu titik tersebut akan menentukan apakah seorang akan ada di bawah atau di atas, dan dibalik itu pengarang mencoba memperjelas dimana jalan yang akan dipilih oleh seoarang hamba yang akan menuntunnya ke dalam sebuah titik dimana Allah ada di sana. Dalam puisi Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” juga ditemukan sajak yang lain atau dengan kata lain sajak “Ingat kamu, nun” berkontektual dengan sajak “Nun” karya Fakhrunnas M.A Jabbar dalam antologi puisinya yang berjudul “Airmata Barzanji” secara tidak langsung.
Nun
Inilah kait nun dari julang langit yang jauh
Nun bukit mana dari julang langit yang jauh
Nun dari kata apa dari ujung langit yang jauh
Nun dari ayat mana dari julang langit yang jauh
Inilah lingkaran nun yang tak pernah bersentuh ujungnya
Nun dari ayat dan kitab suci
Dari Zabur
Dari Taurat
Dari Injil
Dari Al-Qur’an
Nun disana dari air lembah eufrat
Nun disana dari Makkah dan madinah mandi cahaya.
Pekanbaru, 1981
Fakhrunnas M.A Jabbar
Dari pandangan perspektif tersebut, maka pemaknaan sebuah sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S harus didasarkan dengan pemaknaan-pemaknaan secara menyeluruh, sebelum mencari pandangan filosofis dalam pandangan pengarang. Pengambilan simbol nun dalam sajak tersebut merupakan hal yang pertama yang harus diketahui baik arti atau makna, didalam kamus bahasa Indonesia sendiri diksi “Nun” berarti: sana, di sana, atau nama huruf ke-25 dalam abjad Arab. Sebuah gambaran pencarian yang harus di jalani oleh seorang hamba untuk mencapai maqon kedekatan dengan Tuhannya seperti di tulis dalam sajaknya pada bait pertama baris tiga “Seperti dari bumi ke langit tujuh”. Sedangkan untuk mencari kedekatan tersebut penggarang menggambarkan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yakni dengan cara bangun ditengah malam untuk sholat tahajud dimana disana seorang hamba mempunyai kedekatan dengan Tuhannya sehingga hati seorang hamba bisa mencapai tingkatam maqom yang dekat atau benar-benar mendialogkan pikirannya dengan Tuhan.
Kedekatan hamba dengan Tuhan inilah yang coba digambarkan oleh Abdul Wachid B.S lewat sajaknya pada bait kedua baris ke empat “Selalu didalam taman yang bernama hati” bahwa konsep kedekatan Tuhan di ukur dimana segala tingkah laku perbuatan adalah dari kedekatan hati (ma’rifat) dan dimana Tuhan berada dihati seoarang hamba , dalam hadis kudsi dijelaskan juga seoarang hamba jika berniat mendekatkan diri kepada Tuhannya maka Tuhan akan dekat dengan hamba tersebut, dan juga sebaliknya jika seoarang hamba jauh dari Tuhan jauh pula Tuhan dengan hamba tersebut, sebuah keyakinan kedudukan dimana seorang ang mencoba mendekatkan diri melalui ibadahnya, seoarang hamba akan benar-benar merasakan kesejukan dalam hatinya dengan keyakinannya Allah selalu menjadi kekasih dan tempat dimana meminta segala pertolongan.
Dengan membongkar dan mencari makna dalam puisi “Ingat kamu, nun” diatas maka akan ditemukan sebuah perpaduan kenyataan seoarang hamba yang megalami perjalanan kehidupan yang semula tidak ada kemudian di ciptakan oleh Allah dimuka bumi dan juga akan dimatikan lagi oleh Allah. Semua perjalanan kehidupan itu di ditulis dalam sajak “Iangat kamu nun” yang ditulis “Dari awal hingga ke ujung jalanan waktu” dan didalam perjalanan hidup manusia adalah hakekatnya untuk beribadah kepada Allah, disinilah tingkat ketakwaan seorang hamba diuji oleh Allah melalui cobaan jegalan, tarikan, halangan dan berbagai tantangan kehidupan didunia lainnya yang kesemuanya itu tak lain untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesabaran dan ketakwaannya seoarang hamba. Hal itu ditulis disajak “Ingat kamu, nun” di bait empat baris ke enam “Bahkan kamu menjegalku sekedar aku terjatuh lalu bersimpuh dihadapan-MU”
Setelah seorang hamba melewati ujian dari Allah maka disinalah sang penulis puisi Abdul Wachid B.S melanjutkan dengan “Ingat kamu, nun jarak tempuh mana lagi akan kucari cari” di mana seorang hamba yang mencari kedekatan dan mencari maqom mairifatullah melalui segala kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan maha kasihsayang-Nya, segala keindahan tersebut diciptakan-Nya dimuka bumi ini supaya manusia menegetahui kekuasaan-Nya.
F. Simpulan
Hermeneutikanya memberi tekanan pada historisitas, tidak hanya pada manusia saja tetapi juga pada bahasa dan makna. Hermeneutiknya meliputi baik objek maupun subjek sejarah, peristiwa dan sejarawannya, interpreter dan yang diinterpretasikan.
Hermeneutika dalam perjalanan historis memiliki sejarah yang cukup panjang, paling tidak dapat dipetakan dalam enam posisi, yaitu a. hermenetika sebagai teori eksegesis Bibel, b. Sebagai metode dalam kajian filologi, c. Sebagai ilmu pemahaman linguistik, d. Sebagai fondasi metodologis dalam geisteswissenschaften, e. Sebagai pendekatan metodologis dasein dan pemahaman eksistensial, dan f. Sebagai sistem interpretasi dalam menemukan makna dan ikonoklasme.
Fokus ganda hermeneutika dikonsentarsikan pada peristiwa pemahaman dan aneka problematika yang lebih diintensitaskan pada analisis bahasa secara fungsional yang dapat memberikan sumbangan ke bidang ilmu linguistik.
Dalam kajian hermeneutika yang membongkar sajak puisi Abdul wachid B.S dapat digambarkan dengan seorang hamba yang mencari maqom ma’rifat atau usaha seorang hamba untuk mencoba mendekatkan diri kepada Tuhannya melalui berbagai upaya yang dapat dilakukan, diantaranya memelalui tawakal, sabar, dan puncaknya yakni takwa. Hal tersebut ditulis di dalam sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” ditulis pada bait ke empat baris ke empat “Kadang menarik-narik bajuku dari belakang/ kadang menghalang-halangi pandanganku kedepan/ nahkan kamu menjegalku/ sekedar agar akau terjatuh/ lalu bersimpuh dihadapan Mu”. Namun dalam proses menuju tawakal, sabar, dan takwa tersebut tidaklah mudah, seorang hamba digambarkan harus susah payah untuk memperolehnya, karena dalam persepektif ini cobaan akan diberikan oleh Tuhan untuk menguji kesabaran dan ketakwaan seorang hamba dengan berbagai macam cobaan dan ketika seorang hamba lalai dalam melaksanakan kewajibannya maka Allah mengingatkan hambanya tersebut dengan cara-Nya sendiri.
Secara pandangan persepektif Islam sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S mengadung berbagai banyak pemaknaan, berangkat dari Al-Qur’an surat Al-Qolam disana sudah ditulis bawah “nun” adalah sebuah kerahasiaan Allah, tidak banyak juga di jelaskan esensi nun itu sendiri didalam Al-Qur’an, baik segi arti maupun makna. Dari pandangan orang-orang sufi menganggap bahwa di sana merupakan sebuah kerahasiaan besar yang dimiliki Allah, kebesaran akan kekuasaan Allah, dan Maha Indah Allah dengan segala kerahasiaannya yang telah diciptakan, Wallahu a’lam.
Berangakat dari kerasiaan “nun” di dalam Al-Qur’an penulis Abdul Wachid B.S mencoba menerapkan konsep spiritual “manunggaling kaula gusti” yang seolah seoarang hamba yang mencari Tuhannya dengan susah payah dan meski melewati jarak yang cukup jauh dan juga melelahkan untuk bisa menemukan “nun”, “Kebesaran Tuhannya”. Dan diteruskan dibait ketiga baris ke empat Abdul wachid B.S menggambarkan tempat yang dicari oleh seorang hamba tersebut sebetulnya berada didalam hatinya sendiri “Jauh sekaligus dekat/ di luar ruang sekaligus/ selalu didalam taman yang bernama hati”.
No comments:
Post a Comment